Mindset Anak Muda : Berpikir Global

Saat kuliah program MM (Magister Manajemen) di President University beberapa waktu yang lalu, hampir setengah dari rekan sekelas saya adalah mahasiswa luar, terutama dari Tiongkok. Karena posisi saya sebagai class captain, saya jadi banyak bergaul dengan mereka, ditambah lagi saya juga senang belajar bahasa Mandarin, jadi sesekali saya belajar conversation dengan mereka.

Mereka pernah main ke rumah kabin Zeze Zahra Zeze Zahra Excellent Farm dan ke Rumah Edukasi “Dewi Lia Astuti”. Kadang saat pulang kampung, mereka membawa oleh-oleh teh yang diberikan ke beberapa rekan termasuk saya. Banyak dari mereka yang kesulitan bahasa Inggris, jadi kadang komunikasi dengan mereka pakai bahasa campuran.

Saat kuliah singkat di TUM Asia (Technical University of Munich) di Singapore, rekan yang menginap di satu hotel/berdekatan hotel adalah Quan Chengqi, Yu Wei, Zitao Huang serta beberapa rekan yang lain. Jadinya saya kerap berangkat jalan kaki baik pulang maupun pergi ke kampus bersama mereka.

Saya sering ngobrol dengan Quan Chengqi. Ia bekerja di salah satu perusahaan mobil listrik asal Tiongkok. Kami ngobrol apa saja. Misalnya terkait pertanian sesuai hobi saya. Ia cerita bahwa dulu fokus di Tiongkok adalah membuat buah yang serba besar, agar harga murah dan bisa dinikmati masyarakat banyak. Setelah itu baru fokus ke aspek kualitas.

Ia juga bercerita bahwa mindset anak-anak muda di Tiongkok adalah kuliah dan membangun usaha di luar negeri. Mereka tidak lagi bicara soal lokal melainkan mindset global. Bahkan meski terkendala bahasa, mereka menganggap bahwa justru kendala itu harus ditaklukkan, dalam pengertian harus dikuasai.

Saya juga kadang menjelaskan pada mereka soal perspektif budaya ke mereka. Misalnya soal cara pandang muslim, prinsip makanan halal dan bagaimana menyikapi komunikasi antara level pimpinan berkebangsaan Tiongkok dengan rekan pekerja Indonesia. Saat di Singapore, malah Quan yang sering mengingatkan saya soal makanan halal.

Sikap dan prinsip mereka soal mindset global ini cukup membekas buat saya. Mungkin dalam beberapa case mereka bisa menjadi bagian dari program pemerintah terkait ekonomi, sosial dan politik. Mereka bisa menjadi agen of change sekaligus memperkuat posisi negara dalam konteks dunia.

Disisi sederhana, ini juga menyadarkan pada saya bahwa privilege sekolah dan kuliah, apalagi kuliah di luar negeri atau kunjungan ke luar negeri bisa menjadi pembuka wawasan yang kemudian bisa dijadikan sebagai ide perbaikan di lingkungan kita sendiri.

Hal itu juga yang menjadi salah satu latar belakang saya mengembangkan Rumah Edukasi “Dewi Lia Astuti” agar bisa menjadi salah satu pembuka wawasan bagi anak-anak di lingkungan sekitar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *