Variasi Linux : Bhineka Tunggal Kernel

Semalam ada salah satu email menarik di milis Tanya-Jawab Linux. Maaf buat mas Ade Malsasa Akbar, emailnya saya kutipkan disini :

Para adiwirawan Linux, apa ide menyatukan proyek Blankon dengan IGN  itu baik? Pengguna awam jadi bingung kalau mau pakai distro Indonesia. Ada terlalu banyak pilihan. Bukankah kalau disatukan tenaga jadi  memusat juga? Maksud saya, menyederhanakan pengelolaan. Maafkanlah  saya yang awam ini. Majulah sumber terbuka Indonesia! Terima kasih.

Email ini menarik karena bisa jadi pertanyaan yang sama ada dalam benak beberapa rekan yang lain. Berikut adalah pandangan saya dalan reply ke milis tanya-jawab.

Jika semua distro Linux bisa bersatu tentu sebuah pencapaian yang baik, namun jika tetap berbeda juga bukan sesuatu yang patut disesali. Beberapa distro untuk 200 juta penduduk Indonesia masih relatif sangat sedikit. Dalam banyak kasus, adanya perbedaan dari masing-masing distro sepanjang memacu perkembangan positif merupakan sesuatu yang baik bagi perkembangan open source di Indonesia.

Tidak selamanya serba satu dan serba seragam memberikan benefit yang diinginkan. Bukan karena tidak ada keinginan untuk bersatu melainkan karena “nature” dari Linux itu sendiri memang menghargai perbedaan. Sebagai analogi, Debian merupakan salah satu distro yang lengkap dan bagus, namun terciptanya variasi baru dalam bentuk Ubuntu ternyata bukan sesuatu yang buruk. Ubuntu sudah bisa dibilang distro yang cukup lengkap dan user friendly, namun adanya LinuxMint yang berbasis Ubuntu ternyata memberikan pilihan lain yang menarik. Hal yang mirip terjadi pada distro lain.

Dari analogi diatas, kalau kita berpikir linear dan seragam, mungkin akan terpikir, kenapa mesti bikin Ubuntu kalau sudah ada Debian. Kenapa developer Ubuntu tidak bersatu saja dengan developer Debian dan mengembangkan 1 distro saja. Kenapa developer LinuxMint tidak bergabung dengan developer Ubuntu dan mengembangkan 1 versi saja supaya lebih enak buat pengguna tidak perlu pilih-pilih. Jawabannya adalah karena perbedaan itu ternyata membawa rahmat. Jika saya suka Ubuntu bukan berarti saya tidak suka pada Debian, atau Fedora atau openSUSE atau Slackware atau yang lainnya.

Adanya IGOS Nusantara, Garuda, BlankOn, Zencafe dan lain-lain jika dipandang secara positif sebenarnya justru memacu  perkembangan yang baik. Bagi sebagian pengguna mungkin terpikir, kenapa nggak bersatu saja supaya bikin satu distro sehingga penduduk Indonesia nggak pusing memikirkan untuk memilih distro dan agar semua effort disatukan daripada terpecah-pecah. Pendapat ini tidak memperhatikan bahwa orang Indonesia tetap bisa kok memilih apa yang dia sukai dari sekian banyak pilihan.

Kesukaan itu kadang ada yang bersifat general dan mudah disatukan namun ada juga kesukaan yang sifatnya personal dan tidak bisa dipaksakan. Kalau saya lebih menyukai warna hijau sedangkan BlankOn berwarna merah, saya mungkin tidak bisa memaksa developer BlankOn untuk membuat BlankOn berwarna hijau seperti yang saya inginkan (ini analogi saja karena sejatinya BlankOn pernah bernuansa hijau 😀 ). Daripada saya merugikan orang lain yang lebih suka warna yang dipilih oleh developer BlankOn, lebih baik saya mengalah dengan memilih distro lain yang memenuhi ekspektasi saya.

Contoh lain, BlankOn, Garuda dan IGOS Nusantara sangat baik dalam hal desktop namun untuk urusan dekstop ringan dan bisa digunakan pada PC berspesifikasi rendah, Zencafe mungkin punya keunggulan komparatif. Agak sulit bagi distro lain untuk meniru langkah Zencafe. Bukan karena tidak bisa melainkan karena tujuannya memang berbeda. Jika distro lain ingin seperti Zencafe, terpaksa akan mengorbankan beberapa hal fundamental yang menjadi ciri khas distro tersebut.

Saya pribadi memiliki favorit distro openSUSE, namun dalam hal lokalisasi, saya kagum pada BlankOn. Saya suka openSUSE namun jika pergi kemana-mana dan mengalami kendala akses Wifi, distro generasi Red Hat seperti IGOS Nusantara dan Fedora sangat membantu saya, karena entah mengapa, driver Wifi mereka sanggup melakukan koneksi yang tidak bisa dilakukan openSUSE meski dengan langkah yang sama.

Dalam hal pendapat satu distro untuk warga Linux di Indonesia sesuai thread ini, saya lebih prefer untuk menerapkan konsep Bhineka Tunggal Ika. Silakan ada bahasa persatuan dalam bentuk Bahasa Indonesia namun keberadaaan Bahasa Indonesia tidak mematikan bahasa daerah. Kebudayaan dan bahasa daerah justru memperkaya Bahasa persatuan tersebut. Silakan bermunculan berbagai distro, berlomba memberikan yang terbaik sehingga ada banyak pilihan bagi para pengguna.

Bagaimana menurut anda 🙂

8 thoughts on “Variasi Linux : Bhineka Tunggal Kernel

  1. “Saya pribadi memiliki favorit distro openSUSE, namun dalam hal lokalisasi, saya kagum pada BlankOn. Saya suka openSUSE namun jika pergi kemana-mana dan mengalami kendala akses Wifi, distro generasi Red Hat seperti IGOS Nusantara dan Fedora sangat membantu saya, karena entah mengapa, driver Wifi mereka sanggup melakukan koneksi yang tidak bisa dilakukan openSUSE meski dengan langkah yang sama.”

    Merupakan pengakuan bahwa Linux community distro bukan merupakan tools yang produktif dan mendorong distro whoring (pelacuran distro), dimana ketika satu feature tidak jalan, orang jadi kudu re-install mesin dengan distro lain, sehingga kehilangan waktu produktif yg seharusnya bisa digunakan untuk yang lain. Buat saya yang end user dan bukan developer, stable distro is a must. Oleh karena itu hanya tertarik kepada enterprise or company backed distro, Ubuntu, RHEL, SLES.

  2. Hehehe, baru saja saya baca milis dan mikir, ini posting di milis atau posting di blog ya? Ternyata akhirnya beneran diposting di blog 😀

  3. kalau bagi kita sih banyak perbedaan dalam distro linux itu keren banget manfaatnya, tapi bagi orang yang masih kurang mengerti tentang linux, banyaknya varian bisa mengurangi niat mereka untuk pakai linux 🙂

  4. Wuah langsung nongol di Blog, setuju ma om Vavai, perbedaan yang membuat dunia ini warna warni. Masa ibarat makan nasi lauknya garam doang, asin dong 😀

  5. Setuju dgn mas Dedhi, kalau utk keperluan oprekan sih bisa pakai distro apa saja, tapi kalau disuruh merekomendasikan & membuat sistem IT based on Linux/UNIX, saya pakai FreeBSD atau CentOS/RHEL utk server, oprekan desktop pakai Ubuntu. Kasihan orang lain kalau saya kasih rekomendasi yg kurang handal, dan ujung2nya capek di saya sendiri ditanyain orang kalau salah kasih distro 🙂

  6. +1
    Kemudahan, kecepatan, kesederhanaan dan kemampuan mendeteksi hardware itulah yg saya cari dlm sebuah distro. Toh saya jg bkn pecinta GUI krn awal kenal komputer jg dari PC-DOS. Itulah alasan knp saya pilih Crunchbang (Openbox) dan PCLinuxOS Zen Mini (Gnome 2).

  7. Saya sependapat nih, kalo mungkin bisa diibaratkan PC adalah manusia, jika sakit tentu obatnya akan berbeda2. Dua orang yg Sakit kepala belum tentu obatnya sama. Atau mungkin sama tapi dosisnya berbeda.
    Mandriva adalah distro pilihan saya, namun satu saat untuk dipasang di pc warnet, saya lebih memilih Pclinuxos LXDE atau gnome… Jadi berbeda-beda supaya ada pilihan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.