Tanggung Jawab pada Kehidupan Pribadi dan Keluarga

Beberapa hari yang lalu, saya dan Dear Rey menjenguk salah satu kerabat yang dirawat di rumah sakit Fatmawati. Karena diakhir pekan saya mengajar training, kami memutuskan untuk menjenguk kesana di hari kerja. Setelah urusan di kampus untuk kuliah perdana selesai, saya pulang sebentar ke rumah untuk istirahat, karena Dear Rey mesti bekerja dulu di kantor. Sekitar pukul 16.00 WIB baru saya berangkat menjemput Dear Rey sekaligus berangkat ke rumah sakit.

Untuk kemudahan, kami berangkat menggunakan layanan online Grab. Saya booking Grab dari kantor Dear Rey dan tak lama kemudian Grabnya datang. Orangnya sopan dan kemampuan menyetirnya elegan. Saya lihat dia masih berseragam kantor, jadi secara iseng saya bertanya, “Pulang dari kantor pak?”

Pengemudi Grab menjawab, “Iya pak. Tadi saya ada meeting di daerah Karawang. Mau pulang ke rumah di Ciputat, jadi sekalian saja saya hidupkan aplikasi, siapa tahu bisa dapat yang sejalan. Hitung-hitung bisa buat tambahan”.

Wah, keren. Saya tanya padanya, bagaimana jika ternyata penumpang yang didapat ternyata tidak searah, beda jalur dan beda tujuan. Dia bilang di Grab (mungkin juga di aplikasi lain) bisa request jalur yang hendak diambil. Jadi jika hendak pulang dari Karawang ke Ciputat, dia bisa request agar penumpang yang diambil adalah penumpang dengan tujuan menuju Ciputat. Sebagai contoh, ia mendapat saya dan Dear Rey sebagai penumpang karena bertujuan ke RS Fatmawati, yang masih satu jalur menuju rumahnya di Ciputat.

Saya jadi banyak berdiskusi padanya. Misalnya, mengapa ia mau bela-bela-in menyambi jadi pengemudi Grab, karena tidak semua orang mau melakukannya, misalnya karena tidak ingin repot dan bisa saja bertemu penumpang yang menyebalkan. Belum lagi terkena macet tambahan karena harus mengantar penumpang ke tujuan. Ia sampaikan bahwa itu sudah pasti resiko, karena tanpa mencari penumpangpun biasanya memang terkena macet. Dia mau mengambil hal tersebut sebagai tambahan penghasilan, iseng-iseng berhadiah katanya.

Sumber Gambar : Pixabay

Bisa saja ia tidak mendapat penumpang, ya tidak apa-apa. Bisa saja hanya sekedar beberapa puluh ribu rupiah, juga tidak apa-apa. Bisa sebagai tambahan uang bensin atau bayar tol. Kalau lebih tentu patut disyukuri karena itu artinya bisa menjadi penghasilan tambahan untuk ditabung. Saat mengantar saya ke RS Fatmawati misalnya, lumayan sekitar 150 ribu rupiah dari Bekasi timur. Bisa menutup uang bensin, ditambah lagi saya dan Dear Rey sebagai penumpang nggak neko-neko 🙂

Diskusi kami jadi membahas mengenai konsep financial independence, yang kemudian berujung pada retirement early (Financial Independence Retirement Early : FIRE). Konsep yang saat ini sedang saya terapkan. Upayanya mencari penghasilan tambahan sangat saya apresiasi, karena itu bagian dari tanggung jawab pribadi dan terhadap keluarga. Konsep utama untuk mencapai level FIRE adalah meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran, agar nilai yang ditabung bisa lebih besar dari biasanya. Diskusi ini membawa saya pada salah satu keputusan besar yang saya ambil di tahun 2011.

Bulan Januari yang baru saja lewat mengingatkan saya pada “keputusan besar” itu. Bulan Januari yang sama tepat 8 tahun yang lalu saya mengundurkan diri dari perusahaan tempat saya bekerja untuk full berwirausaha, self employee dan memulai petualangan membangun perusahaan sendiri.

Keputusan yang tidak mudah dan membutuhkan pertimbangan dari beberapa bulan sebelumnya, bahkan mungkin dari beberapa tahun sebelumnya. Saya ingat sekitar tahun 2008-2009 saya bicara pada isteri, my Dear Rey, bahwa saya berniat mengundurkan diri dari perusahaan di tahun 2013. Dear Rey yang merasa skeptis sempat bertanya, “Nanti mau makan apa?”

Saat itu saya belum punya role model di sekitar saya yang keluar dari pekerjaan kemudian berwirausaha. Saya punya beberapa teman yang setelah keluar dari pekerjaan dan berwirausaha, hidupnya menjadi tidak mudah. Itu yang menjadi salah satu kekhawatiran saya. Saya butuh beberapa tahun untuk menimbang-nimbang keputusan, sampai kemudian memberanikan diri untuk resign setelah secara kalkulasi keuangan cukup memungkinkan untuk mengambil keputusan itu.

Salah satu latar belakang keberanian pengambilan keputusan itu adalah atas dasar tanggung jawab pada keluarga. Saya sudah memperhitungkan nilai pendapatan saya dan potensi kenaikan gaji. Jika mengacu pada kebutuhan keluarga, nilai kenaikan gaji tersebut kemungkinan tidak mampu mengimbanginya. Daripada saya harus terus berkompetisi dengan kebutuhan, saya berusaha mencari alternatif penghasilan tambahan yang kemudian bermuara menjadi usaha yang saya tekuni dan saat ini berevolusi menjadi Excellent.

Karena hidup bukan hal yang datar, tidak ada salahnya jika kita mereview jalan kehidupan yang sedang dan akan kita tempuh. Jika ada yang membuat khawatir, sudah selayaknya bagi kita untuk memikirkan solusinya, agar kita tidak terjebak pada penyesalan dimasa mendatang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.