Takut Swab PCR/Rapidtest Antigen?
Kamu merasa demam dan salah satu atau beberapa gejala yang katanya terkait Covid, tapi takut di swab PCR/Rapidtest antigen? Mungkin bukan kamu sendiri. Saya juga dulu begitu, hehehe…
Apa alasan takut swab PCR atau Rapidtest Antigen atau anggaplah test covid?
Alasan pertama, rasanya kok nyeri membayangkan hidung dimasukkan alat swab yang panjang. Apa nggak “nyenggrak”? Apa muat, kan panjang banget? Apa nggak sakit? Sudah gitu, hidung kiri hidung kanan ditambah tenggorokan juga.
Alasan kedua adalah khawatir soal hasil. Banyak orang yang takut melakukan pengecekan lab-tidak hanya swab PCR-karena khawatir hasilnya tidak sesuai harapan atau jadi tahu punya penyakit tertentu yang berbahaya.
Ini memang soal mental. Bagi orang yang berpikiran segala sesuai diambil sisi baiknya, maka hasil test yang tidak sesuai harapan bisa menjadi deteksi dini sebelum hasilnya semakin jauh. Kalaupun harus menjalani pengobatan, bisa diobati lebih awal sebelum masuk ke stadium lanjut.
Namun bagi orang yang serba khawatir, justru hasil yang tidak sesuai harapan itu yang bisa memperburuk situasi. Tadinya nggak tahu ada penyakit tertentu, begitu tahu malah stress jadinya.
Saya juga awalnya termasuk kategori pertama dan kedua, makanya sedapat mungkin berusaha sehat agar tidak perlu melakukan swab PCR. Saya menjalankan protokol kesehatan yang menurut saya sudah cukup ketat. Sering cuci tangan pakai sabun dan air mengalir atau menggunakan hand sanitizer, selalu menggunakan masker terutama saat keluar rumah dan menjaga jarak dari orang lain.
Ternyata versi ketat menurut saya sebenarnya banyak celahnya. Saya masih menyempatkan diri kondangan ke acara pernikahan di gedung. Saya juga masih makan di rumah makan, bukannya pesan untuk dibungkus dan makan di rumah. Padahal itu termasuk kategori sangat rentan karena saat makan otomatis membuka masker dan duduknya juga tidak terlalu berjauhan dengan orang lain.
Dari awalnya tidak mau swab, akhirnya saya melakukan swab PCR sampai 7x dan menjadi 8 jika dihitung dengan Rapidtest antigen. Rapidtest antigen pertama adalah saat saya terdeteksi positif/reaktif. Itu dilakukan pada hari Jumat, 25 Desember 2020. Disusul dengan swab PCR pada hari Sabtu, 26 Desember 2020 dan hasilnya positif. Swab PCR berikutnya saya lakukan di rumah sakit tempat saya di rawat dan kemudian dilakukan di Medikids (MHDC) drive thru beberapa kali sampai mendapatkan hasil negatif.
Bagaimana rasanya? Apakah sakit dan nyeri seperti yang dibayangkan dalam alasan pertama diatas?
Tidaklah. Ini tidak nyeri seperti ditusuk pisau atau sendok garpu. Tepatnya adalah rasa tidak nyaman, terutama saat awal karena kita biasa bernafas melalui hidung sedangkan saat diswab dan diambil cairan dari dalam hidung, kita jadi kesulitan bernafas.
Petugas yang melakukan swab biasanya meminta kita sementara waktu bernafas melalui mulut, saat diswab dari hidung. Berapa lama prosesnya? Secara hitungan angka, sekitar 10x hitungan. Anggaplah 10 detik di lubang hidung kanan, 10 detik di lubang hidung kiri dan 10 detik di mulut/tenggorokan.
Tenang saja, ada jeda kok. Bukan berarti dari hidung kiri dan hidung kanan lanjut ke mulut. Dan lagi, kan beda alat yg masuk ke hidung dan ke tenggorokannya.
Saat awal saya merasakan tidak nyaman sekitar 2-4 menit. Swab-swab berikutnya lebih singkat, mungkin hanya 1-2 menit saja rasa tidak nyamannya.
Kemudian soal mental, bagaimana jika hasilnya malah positif. Tidak apa-apa, malah bagus jadi tahu lebih awal jadi tidak menularkan ke keluarga atau teman-teman atau tetangga. Kalau badan kita kurang enak, kita bisa upayakan rawat di rumah sakit. Kalau badan kita kondisinya normal dan beberapa hari tetap normal, berarti kita cukup isolasi mandiri di rumah. Isolasi mandiri di kamar atau di ruang terpisah dari anggota keluarga yang lain.
Intinya jangan takut jika kita jadi tahu. Covid memang pandemi. Jadi kemungkinan tertular sangat besar. Bisa dari lingkungan keluarga, tetangga, pekerjaan, di jalan maupun saat menggunakan transportasi. Karena itu bagi yang sehat harus benar-benar menerapkan protokol kesehatan ketat, jangan sekedar merasa sudah menerapkan tapi banyak bolongnya. Merasa sudah ketat tapi masih santai reuni atau berkumpul dengan teman-teman, masih makan diluaran karena merasa itu sudah bagian dari gaya hidup, masih kondangan dan acara perkumpulan lainnya karena merasa sungkan.
Kalau sudah sakit covid, gaya-gaya hidup yang kita pertahankan itu mungkin akan menjadi penyesalan. Bahwa sebenarnya kita masih bisa menunda atau mencari alternatifnya. Covid itu penyakit berbahaya, jadi tindakan preventifnya juga memerlukan pengorbanan kita untuk merasa tidak nyaman sementara waktu, karena pada akhirnya kesehatan kita juga yang harus menjadi pertimbangan utama.