Resensi Buku Republik Jungkir Balik
Setelah beberapa waktu pak Suparto Brata menerbitkan buku-buku berbahasa Jawa, akhir tahun kemarin akhirnya ia menerbitkan satu buah novel roman dengan setting jaman kemerdekaan berjudul “Republik Jungkir Balik”
Mulanya saya kurang terpikat dengan narasi yang disampaikan seperti berikut ini :
Keluarga Kartijo merupakan salah satu dari beribu-ribu keluarga yang ikut dalam gelombang besar pengungsian ketika Surabaya diduduki oleh tentara Mansergh (Inggris). Di tempat baru (Probolinggo) mereka kemudian mengenal keluarga Saputra. Saputra seorang tukang catut yang mengawini perempuan mantan pelacur dari Kampung Tetes bernama Sumini.
Kesulitan hidup di tempat yang baru, membuat dua keluarga ini masuk dalam konflik kehidupan yang pelik. Senasib sepenanggungan, mereka berjuang mempertahankan hidup. Seiring dengan beranjak dewasanya anak-anak Kartijo, ditangkapnya Saputra oleh Belanda sehingga Sumini yang cantik dan menarik rela menjadi pelayan nafsu sinyo-sinyo penjara Herenstraat. Itulah secarik nasib manusia yang saya ceritakan dalam novel baru saya Republik Jungkir Balik, sebuah novel berlatar belakang Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1947).
Asumsi saya ini berangkat dari pemikiran sederhana, apa sih menariknya kisah tentang tukang catut bernama Saputra dengan pelacur dengan nama Sumini itu? Ternyata kita memang tidak boleh menilai sesuatu dari kulit luarnya saja. Jangan langsung berprasangka bahwa namanya pelacur ya pelacur, apa ada kebaikannya. Demikian halnya dengan tukang catut, ini pekerjaan yang dengan mudah akan kita cibir.
Ternyata Pak Suparto Brata mampu meramu tema yang kelihatannya biasa-biasa saja menjadi kisah yang menarik. Bagaimana tidak menarik kalau ternyata ada anak seumuran SMP yang awalnya membenci Sumini setengah mati kemudian bisa memahami alur psikologinya sehingga timbul romantisme apik diantara keduanya.
Bumbu hubungan TTM antara si anak SMP dengan Sumini ini mampu digambarkan secara halus oleh pak Suparto Brata. Kualitasnya sebagai pengarang memang tidak perlu diragukan lagi sehingga kita yang hidup sekian puluh tahun setelah perang kemerdekaan bisa merasakan suasana kala itu.
Saya menangkap ada beberapa kisah dan moment dari buku ini yang disarikan dari pengalaman pak Suparto Brata, misalnya keluarga Kartijo dan pola pikir keluarganya. Yang menarik adalah kisah romantisme antara laki-laki remaja dengan perempuan dewasa yang membuat saya serasa deja vu dengan buku saksi mata. Pada buku Saksi Mata yang bercerita kisah kekejaman tentara Jepang, pak Suparto Brata juga meramu hubungan istimewa sejenis ini meski sayangnya pada buku itu tokoh utama wanitanya (Ndrajeng Rumsari) harus tewas ditangan tentara Jepang.
Membaca buku Republik Jungkir Balik serasa membaca kisah yang belum selesai mengingat ada banyak jalinan kisah terbuka yang membuka kesimpulan dan penafsiran masing-masing. Apakah memang demikian, kapan-kapan akan saya tanyakan pada pak Suparto Brata, 🙂
Buku yang menarik untuk dibaca, terutama yang tidak ingin membaca buku-buku kacangan.
review yg bagus,ntar kalau bukunya ada di gramedia akan di beli deh. 🙂