Resensi Buku : “Doorstoot Naar Djokja”
Hari Senin 8 Maret 2010 yang baru lalu saya mampir di toko buku Gramedia Metropolitan Mall Bekasi. Kebetulan Jupiter MX saya tinggal di rumah sehingga saya pulang ikut dengan teman yang melewati pintu tol Bekasi Barat dan bisa mampir di toko buku Gramedia MM.
Saya membeli 2 buah buku yang menarik minat saya. Yang pertama adalah “Doorstoot Naar Djokja : Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer” karya Julius Pour dan yang kedua adalah “Selimut Debu” yang merangkum kisah petualangan Agustinus Wibowo.
Doorstot Naar Djokja yang kira-kira berarti “Menembus Maju ke Djokja” adalah rekam jejak sejarah proses agresi Militer Belanda ke II yang berlangsung pada tanggal 19 Desember 1948. Agresi ini merupakan kemenangan lobi Louis Beel, Wakil Tinggi Mahkota di Batavia dan Letjen Simon Spoor yang mengepalai pasukan KNIL di Indonesia. Keduanya beranggapan, proses diplomasi tidak akan berhasil menaklukkan Indonesia kecuali jika militer Indonesia ditundukkan dalam satu serangan kilat ke ibukota Yogyakarta.
Saat agresi militer ini direncanakan sebenarnya posisi Indonesia sudah cukup kritis akibat perjanjian Renville dimana posisi Indonesia hanya tersisa pada Yogyakarta dan sekitarnya, sebagian Jawa Timur dan sebagian Sumatera. Daerah lain terpecah kedalam beberapa negara bagian yang bergabung kedalam BFO seperti negara Pasundan, negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan lain-lain. Perjanjian Renville juga membawa dampak besar, yaitu dalam bentuk hijrahnya pasukan Siliwangi dari Jawa Barat ke Yogyakarta, Solo dan sekitarnya. Pasukan Siliwangi ini yang akhirnya berperan sebagai salah satu pasukan penumpas pemberontakan PKI di Madiun.
Serangan kilat yang dilakukan oleh pasukan elite Belanda, Korps Speciale Troopen (KST) memang langsung dapat menguasai lapangan terbang Maguwo, satu-satunya lapangan terbang yang dimiliki oleh Indonesia yang digunakan untuk menembus blokade Belanda. Serangan ini kemudian dilanjutkan oleh pasukan baret hijau yang secara berbarengan melintasi garis demarkasi dan menyerbu wilayah Indonesia.
Dari sisi intelijen, serangan Belanda ini merupakan suatu sukses besar. Serbuan Belanda disesuaikan dengan rencana latihan perang pasukan Indonesia sehingga banyak warga Yogya yang menyangka bahwa serangan yang terjadi merupakan latihan perang pihak TNI. Serbuan ini juga mampu mengecoh pertahanan pasukan TNI yang dipusatkan diwilayah darat daerah Gombong dan Kroya.
Serbuan mendadak ini mampu meruntuhkan pertahanan kota Yogya sekaligus menangkap para pemimpin tertinggi seperti Presiden Soekarno, Wakil presiden Moh Hatta dan beberapa menteri. Peristiwa menyerahnya Presiden Soekarno memicu kekecewaan para pemimpin militer dan sebagian rakyat yang sebelumnya mendapat janji bahwa Presiden Soekarno akan memimpin sendiri proses perang gerilya. Kenyataan ini sangat berbeda dengan keteguhan Jenderal Soedirman, yang meski dalam kondisi sakit masih tetap berkomitmen melanjutkan perang gerilya.
Buku cukup detail mengungkap sebab dan akibat dari agresi Belanda, baik terhadap pemerintah Belanda maupun terhadap pemerintah Indonesia. Anggapan bahwa Belanda menang pertempuran namun kalah dalam peperangan sangat cocok menggambarkan perkembangan tragis yang harus diterima oleh Louis Beel dan Jenderal Spoor.
Bagi para penggemar cerita sejarah dan pertempuran, buku Julius Pour ini pantas menjadi salah satu koleksi berharga mengingat berbagai rangkuman cerita yang menarik seputar kehidupan semasa agresi militer Belanda. Buku ini bahkan cukup banyak mengurai kisah Letkol Slamet Riyadi yang mempertahankan kota Solo sewaktu di gempur Belanda.
Buku ini cukup imbang dalam memberikan porsi argumen mengapa para pemimpin sipil memilih menyerah dibandingkan secara frontal melawan agresi Belanda, termasuk argumen pemimpin militer yang tidak mau terjebak tipu muslihat Belanda yang banyak terjadi dimasa sebelumnya. Soal apakah perjuangan diplomasi sipil atau peran militer yang menjadi penentu kemenangan, TB Simatupang yang menjadi wakil KSAP (Kepala Staff Angkatan Perang) dimasa agresi militer Belanda II memberikan jawaban bijak : kombinasi antara diplomasi dan kekuatan senjata adalah hal krusial dalam kesuksesan perjuangan kita.
karena ada kata Yogyanya, maka saya baca dan menurut saya, mas Vavai memang pakar kalau membuat resensi seperti ini.
Selalu ada hal kecil yang masuk dalam pandangan mas Vavai, seperti saat mas Vavai suka memberi komentar dan orang lain jadi terperangah dengan ucapan mas Vavai yang lembut kecil tapi menyengat
Salam
salah satu buku yang sudah masuk dalam daftar buku buruan. resensi yang semakin menaikkan prioritas pembelian buku ini…
buku yg bagus.bisa menambah pengetahuan akan sejarah neh. 🙂
ada ebook bajakannya gak?
Sepertinya buku yang bagus, menambah lagi akan kekayaan sejarah bangsa ini..