Piramida Gotong Royong
Saya berasal dari keluarga kebanyakan orang di Indonesia. Arti kata lain, sama seperti rata-rata rakyat Indonesia yang keluarganya mesti berjuang lebih keras untuk memenuhi kebutuhan essensial. Jika ditarik dalam model kurva tingkat kesejahteraan, mungkin kategorinya pas-pasan mendekati pra sejahtera.
Jaman saya SD, makan telur ayam mungkin sebulan sekali. Makan ayam goreng frekuensinya lebih lama lagi. Makan daging sapi mungkin setahun dua kali, saat lebaran Idul Adha dan Idul Fitri
Meski harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan essensial hidup, orang tua saya tetap menekankan pentingnya pendidikan. Saat umumnya banyak anak putus sekolah selepas SD, orang tua saya tetap berupaya agar anak-anaknya sekolah ke level yang lebih tinggi. Kakak-kakak perempuan saya berhenti selepas lulus SD namun kakak laki-laki saya Mardhock (Mardi Susanto) melanjutkan sekolah ke SMPN 1 Tambun dan kemudian ke SMAN 1 Tambun.
Bukan persoalan mudah untuk melanjutkan sekolah karena jaraknya cukup jauh dari rumah. Biaya sekolah adalah tantangan lain. Beberapa tetangga dan saudara beberapa kali saya dengar meminta bapak dan ibu saya agar tidak perlu menyekolahkan anak ke level lebih tinggi, agar tidak perlu bekerja terlalu keras untuk menutup biaya sekolah. Apalagi kami keluarga besar, 12 bersaudara.
Tapi bapak dan ibu saya tetap persisten. Meski kerap ada yang bilang, “Sekolah tinggi juga belum tentu menjamin sukses dalam hidup. Bukan jaminan hidup enak”, namun ibu dan bapak saya tetap menyekolahkan anak-anaknya agar bisa lebih tinggi lagi dari sekedar SD. Tidak apa-apa sampai SMP. Tidak apa-apa sampai SMA, sebatas apapun kemampuannya.
Mungkin saja sekolah lebih tinggi namun kalah sukses dari orang lain yang sekolah rendah. Mungkin saja kalah dari orang yang tidak sekolah. Tidak apa-apa karena sudah berusaha.
Saat kakak saya berhenti selepas SMA, saya berusaha naik lebih tinggi. Karena gagal masuk sekolah kedinasan yang bebas biaya, saya akhirnya bekerja di pabrik, namun niat sekolah tidak pupus. Akhirnya saya berusaha agar bisa kuliah sambil kerja, meski hanya sebatas ijazah diploma.
Selepas saya, adik saya juga hanya sampai SMA, namun adik berikutnya sama seperti saya sampai diploma. Saat mengobrol mengenai keluarga, kami memutuskan agar ada yang naik level lebih tinggi, yaitu S1.
Buat orang lain, mencapai S1 mungkin bukan soal yang susah, namun bagi keluarga kami perlu perjuangan. Yang kebagian tugas mencapainya adalah Ackoy Maryadi Aris Munandar. Dia harus mencapai S1. Jika perlu keluar dari Bekasi. Akhirnya dia mengambil kuliah di Unikom Bandung dan ibu saya nggak enak makan nggak enak tidur selama seminggu memikirkan anaknya ada yang terasa jauh (meski Bandung hakekatnya lebih dekat daripada ke Jakarta )
Saya tahu ada rekan-rekan yang malah merantau lebih jauh dan menganggapnya sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang sudah seharusnya. Sedangkan bagi kami, hanya ke Bandung saja sudah merupakan perjuangan.
Saat Ackoy mendaftar kuliah, semua kakak-kakaknya urunan, termasuk saya. Meski saat itu saya sudah membangun Excellent, saya hanya bisa urunan sebagian biaya kuliah saja. Kakak saya malah ada yang sampai meminjam uang agar bisa urunan, agar Ackoy bisa mencapai S1 pertama bagi keluarga.
Saat akhirnya bisa urunan, biayanya hanya cukup untuk 1 tahun pertama. Jadi pesan ke Ackoy adalah, tidak usah sedih jika nanti kuliah hanya bisa 2 semester. Minimal sudah kuliah. Kita akan coba usahakan agar bisa lebih panjang dan bisa lulus, namun kemungkinan bisa saja berbicara lain.
Alhamdulillah, ternyata urunan ini bisa berjalan dengan baik sampai akhirnya Ackoy bisa menyelesaikan masa kuliahnya dan mencapai level S1 pertama di keluarga.
Selepas kuliah dan beraktivitas kembali di Excellent di markas Bekasi, saya tanya ke Ackoy, “Gimana kalau dia menjadi anak pertama di keluarga yang mencapai S2. Atau S3. Atau kuliah di luar negeri?”. Soal biaya, nanti urunan kembali.
Itu sebabnya saya sebut modelnya adalah piramida gotong royong. Kami bergotong royong membangun pondasi, agar jika tidak semua, minimal ada yang bisa naik level lebih tinggi. Agar ada yang bisa lebih mudah mencapai kesejahteraan. Nanti kalau sudah naik level, dia bisa membantu saudaranya yang lain untuk naik keatas, agar pondasinya lebih kokoh dan mencapai cita-cita yang lebih tinggi.
Di keluarga ada istilah, “Yang pertama naik pesawat terbang”, “Yang pertama membuat passport”, “Yang pertama keluar negeri”, “Yang pertama ke suatu kota”, “Yang pertama keluar daerah” dan serba pertama lainnya. Orang pertama tersebut nanti yang bercerita mengenai pengalamannya, agar bisa menjadi manfaat bagi saudara-saudara yang lain yang belum berkesempatan.
Di keluarga harus ada prinsip untuk bisa bermanfaat. Harus ada prinsip dan usaha untuk bisa lebih maju. Ada upaya untuk bisa naik level dan meningkatkan kesejahteraan. Kalaupun tidak semua, minimal ada beberapa. Kalaupun tidak semua, minimal ada satu orang yang bisa menjadi pionir. Agar hidup tidak sekedar untuk makan. Agar hidup bisa lebih bermanfaat, baik bagi diri sendiri, keluarga maupun masyarakat banyak.
Karena, hidup kita milik kita, susah maupun senang, kita juga yang menjalaninya.