Kemarin sore saya buru-buru pulang setelah menjemput Vivian dari sekolah. Cuaca mendung gelap dan kelihatannya akan hujan lebat. Daripada terjebak kemacetan, lebih baik sampai di rumah lebih awal dan bisa mempersiapkan diri untuk kuliah Business Intelligence.
Sambil ngabuburit dan mempersiapkan diri untuk kuliah, saya mengecek email dan group chat kuliah. Banyak yang terjebak kemacetan karena hujan dan banjir. Salah satu teman kuliah yang bekerja di salah satu lembaga pemerintah malah info, motornya mogok karena mencoba menerobos banjir setinggi dengkul.
“Menyesal malah pulang, tau gitu kuliah di kantor tadi🥲”, gitu katanya. Saya bilang bahwa ya kita nggak pernah tahu keputusan mana yang paling baik. Sewaktu memutuskan pulang menerobos hujan, itu kan sebenarnya diniatkan untuk hal yang baik, agar bisa kuliah online dari rumah dengan suasana nyaman dan tenteram. Kalau kuliah online di kantor, selesai jam 9 malam dan harus pulang ke rumah. Besok pagi sudah kembali lagi ke kantor. Rasa lelahnya belum hilang.
Karena motornya mogok, akhirnya teman-teman satu group kuliah menyarankan ia bersantai dulu. Minum teh panas dulu karena kebetulan ia berhenti dan menunggu di warung makan. Daripada menyesali keputusan dan sewot karena ada hal-hal yang tidak berjalan sesuai keinginan.
Akhirnya ada ibu-ibu baik hati yang membantunya menyalakan motor dan ia bisa sampai ke rumah tepat sebelum kuliah Business Intelligence dimulai.
Kadang kita kerap menyesali keputusan yang kita ambil karena kita terbebani dengan keputusan tersebut. Misalnya keputusan untuk mengambil kuliah, otomatis ada beban tugas kuliah, beban presentasi, beban mengatur waktu antara pekerjaan, keluarga dan kuliah.

Ada juga yang kuliah sambil kerja. Di pekerjaan kadang mendapatkan situasi yang tidak enak, ditambah dengan beban kuliah pula. Belum lagi yang kuliah sambil kerja dan sudah berkeluarga. Jadi tambah tanggung jawab dan kegiatannya.
Tapi justru disitu perbedaannya. Disitu letak perjuangannya. Apakah kita bisa melakukan manajemen pribadi agar bisa mengatasi masalah tersebut. Apakah kita mau belajar untuk membagi waktu agar ada keseimbangan diantara kegiatan yang kita lakukan.
Kalau kita sudah memutuskan untuk kuliah, dicamkan didalam hati agar kuliahnya bisa diselesaikan. Mungkin kita jadi kurang tidur, karena harus mengerjakan tugas malam-malam. Mungkin kita jadi tidak bisa liburan, karena waktunya sempit dan banyak kegiatan yang harus dilakukan. Mungkin kita tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal yang kita senangi.
Itu hal wajar. Mau tidak mau kita memang harus berkorban. Bisa berkorban waktu, tenaga maupun biaya. Justru karena berkorban itu, makanya jangan sampai gagal.
Di Excellent dan Aktiva, saya meminta staff untuk membuat laporan harian secara rutin. Setiap sore. Mungkin ini jadi tambahan pekerjaan meski harusnya tidak sulit-sulit amat. Laporan harian itu semacam resume apa saja yang dilakukan sehari itu.
Sebagai staff, saya bisa saja punya banyak alasan untuk tidak melakukan tugas tersebut. Namun saya juga tidak bisa berargumentasi jika dari sekian banyak staff, hanya saya yang tidak bisa mengirimkan laporan secara periodik sesuai yang diminta.
Analoginya sama seperti tugas kuliah. Mata kuliah Business Intelligence meminta semua mahasiswa untuk menyiapkan final assignment berupa analisa data, implementasi (application) dan improvementnya. Silakan buat sebaik mungkin, minggu depan harus siap dipresentasikan.
Kalau ada tugas seperti itu, apa saya harus berdebat dengan dosen bahwa saya tidak punya basic pengetahuan untuk materinya? Apa saya harus berdebat dengan dosen bahwa saya belum siap? Bahwa saya banyak tugas lain dari mata kuliah Ubiquitous Computing, Research Methodology dan IT Forensics? Kan nggak.
Dosen sudah memberikan tugas, ya tugas saya untuk menyelesaikannya. Kalau untuk menyelesaikan tugas itu saya harus membagi waktu dengan cermat antara pekerjaan di kantor, urusan keluarga dan urusan bisnis, ya saya harus bisa membaginya. Kalau untuk menyelesaikannya saya harus mengerjakan malam-malam sehingga waktu tidur berkurang ya saya harus melakukannya. Jika karena tugas saya terpaksa tidak liburan, tidak ke rumah kabin, tidak ke kebun Zeze Zahra, tidak bisa nonton Netflix, tidak bisa melihat Curiosity Stream, ya itu harga yang harus dibayar. Itu pengorbanan bentuk kecil yang harus saya lakukan.
Banyak para dosen dan mahasiswa yang kuliah terpisah jauh dari tempat tinggal. Banyak dari mereka yang menempuh pendidikan di luar negeri, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Dengan budget terbatas, mungkin adakalanya timbul perasaan lonely dan nelangsa, apalagi jika lingkungan juga bukan seperti lingkungan di Indonesia yang sudah familiar. Justru hal-hal seperti itu yang bisa mendewasakan kita dan membuat kita belajar menghargai apa-apa yang selama ini kita anggap sepele. Saya selalu kagum pada para mahasiswa yang harus berjuang seperti itu untuk bisa mencapai yang dicita-citakan. Hal-hal yang tidak enak cukup ditelan, untuk nantinya diceritakan pada anak bahwa kita pernah harus berjuang sedemikian rupa agar bisa sampai di tujuan yang diharapkan.
Kalau kita yang kuliah bisa ulang-alik setiap hari, kuliah bisa online sambil ngemil dan bersantai, kuliah dengan budget yang lebih dari cukup dan kemudian mengeluhkan pengorbanan yang harus dilakukan, gimana kalau kita sampai ditest pada situasi yang lebih berat seperti mereka? Apa kita harus jejeritan di tengah malam karena stress pada beban yang kita anggap sangat berat?
Hal-hal seperti itu yang membuat saya bersemangat untuk bisa belajar mengatur waktu dan menyelesaikan tugas sebagaimana mestinya. Karena itu tugas dan saya harus menyelesaikannya sebaik mungkin.
Pada akhirnya, hidup kita milik kita, susah maupun senang, kita juga yang menjalaninya.