Pengalaman Sebagai Staff IT : Meningkatkan Rasa Percaya Diri

Saat masih bekerja sebagai supervisor IT di salah satu perusahaan di kawasan Tanjung Priok dengan jumlah staff IT sekitar 10 orang, saya memiliki beberapa staff yang unik sikap dan kelakuannya. Staff-staff tersebut tidak neko-neko, menurut pada arahan dan instruksi saya serta memiliki kualifikasi yang cukup menjadi Staff IT, baik dari sisi latar belakang pendidikan maupun dari kemampuan. Hampir tak pernah ada issue negatif apapun yang terjadi kecuali satu hal, yaitu mereka tidak mau masuk ke ruangan managing director 🙂

Ada kalanya managing director mengalami kendala pada komputer yang beliau pergunakan dan untuk mengatasinya ia memerlukan bantuan dari staff IT. Jika saya menunjuk staff tertentu (yang sikap dan kelakuannya saya anggap unik ini), mereka berani menolak instruksi saya dan meminta saya menunjuk rekan yang lain, misalnya menunjuk staff IT tertentu yang secara pengalaman kerja tidak jauh berbeda dengannya. Biasanya saya menuruti hal tersebut dan menganggapnya sebagai hal yang lumrah.

Hanya saja, karena terjadi beberapa kali, lama-lama saya ingin tahu latar belakang kenapa mereka tidak bersedia saya minta ke ruangan Managing Director jika beliau membutuhkan bantuan dalam hal komputer. Kebetulan Managing Director kami ini termasuk muda usianya-sekitar 40 tahun-lama tinggal di luar negeri dan kuliah maupun bekerja disana. Beliau dianggap killer karena jika marah sikapnya meledak-ledak. Asumsi saya, staff-staff IT saya ini kemungkinan besar takut kalau dimarahi oleh Managing Director.

Saat briefing pagi, saya diskusikan hal ini pada seluruh staff IT. Ternyata memang benar, staff IT yang tidak berani ke ruangan managing director umumnya takut jika mereka tidak menguasai persoalan. Mereka khawatir jika mereka tidak bisa menjawab pertanyaan dari managing director, mereka akan dimarahi habis-habisan. Sikap ini sedemikian melekat sehingga mereka menjadi paranoid. Akibatnya jadi semakin parah. Karena mereka takut dan khawatir, mereka justru jadi tidak bisa menjawab pertanyaan yang semestinya bisa mereka jawab gara-gara terlalu grugup (grugup=sangat gugup, ini istilah saya, biasanya jika saya terlanjur salah ketik, hehehe…) dan gemetar ketakutan.

Misalnya ada pertanyaan sepele soal ini, “Ini kenapa ya internet saya nggak menyala”.

Jawabannya sebenarnya sepele. Internet kan bukan obor, tentu saja tidak menyala, hahaha… Kalo jawab seperti itu bisa langsung digaplok dan di SP3 😛

Jawabannya memang sepele karena terlihat koneksi LAN networknya ada tanda silang, kemungkinan besar kabel LAN yang digunakan mengalami masalah, misalnya tercabut atau tidak terhubung ke switch.

Karena si staff IT terlalu gugup, jawaban yang ia berikan jadi mencong-mencong. Ia malah bilang ngalor-ngidul dan suaranya terlalu lirih sehingga jadi dibentak oleh Managing Director, “Kamu ngomong apa sih, saya nggak bisa dengar!”

Dibentak seperti itu, si staff IT tambah kalut. Kemalangannya jadi bertambah karena suaranya jadi serak dan entah bagaimana ia jadi batuk-batuk. Jangankan untuk menjawab pertanyaan, untuk bersuara saja si staff IT sudah tidak mampu dan akibat akhirnya ia disuruh keluar dari ruangan dan diminta untuk memanggil saya. Jadilah saya yang harus membereskan soal ini dan menjelaskan pada Managing Director soal kelakuan si staff IT yang kalut tadi.

Mendengar cerita itu saya dan rekan staff IT yang lain tertawa terbahak-bahak. Kami memang merasa kasihan, tapi juga geli membayangkan kelakuannya di depan Managing Director. Ternyata beberapa staff IT yang lain juga memiliki sikap yang sama. Mereka merasa horror jika diminta ke ruangan Managing Director karena takut salah jawab atau salah memberikan penjelasan.

Saya sampaikan pada mereka bahwa saya biasa-biasa saja pada Managing Director. Bukan karena saya ini supervisor dan punya banyak pengalaman melainkan karena Managing Director itu orang yang rasional. Meski ia kerap marah-marah jika menghadapi staff yang melakukan kesalahan, sikapnya itu wajar dan masuk akal. Ia juga bisa menerima penjelasan jika penjelasan yang kita berikan masuk akal dan bisa dipertanggung jawabkan.

Para staff IT saya yang ketakutan itu umumnya sudah punya asumsi sendiri sehingga mereka justru ketakutan oleh bayangan sendiri. Kenapa mereka takut, itu karena mereka tidak percaya diri alias PD. Kenapa mereka tidak PD, karena mereka merasa tidak menguasai pengetahuan yang dibutuhkan.

Apa solusi untuk hal ini, tentu saja harus terus belajar meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dan jangan mudah berasumsi. Asumsi yang salah bisa menjerat kita pada cara pandang dan sikap yang salah. Kalau pikiran kita dipenuhi asumsi bahwa si boss memang orang yang galak dan killer, kita jadi lupa memperhatikan bahwa ia sebenarnya manusiawi juga.

Bagaimana cara meningkatkan pengetahuan dan pengalaman? Saya sudah menuliskan 5 tips untuk mengatasi hal-hal yang umum yang biasanya terjadi pada staff IT di perusahaan. Meningkatkan kemampuan misalnya, bisa dipupuk melalui training (bukan ngiklan lho 😛 ), mengikuti workshop, membaca majalah, tabloid, artikel di internet dan lain-lain. Semakin luas pemahaman dan pengetahuan kita, semakin mudah dan teratur jawaban kita pada pihak lain. Hal ini secara otomatis akan meningkatkan rasa percaya diri karena kita mampu menjawab hal-hal yang ditanyakan oleh orang lain.

Belajar membuat perencanaan yang baik, memperluas diri pada pengetahuan non IT dan memperluas pergaulan adalah hal lain yang bisa ditempuh. Saya tidak menyangka bahwa pengetahuan non IT saya soal ERP (Enterprise Resources Planning), MRP (Material Requirement Planning), BOM (Bill of Material), Just in Time, Gemba Kaizen, TQM (Total Quality Management), TQC (Total Quality Control), QCC (Quality Control Circle) dan lain-lain yang saya dapatkan semasa saya bekerja di perusahaan manufaktur di Cikarang ternyata menjadi nilai tambah saat rapat manajemen yang melibatkan bagian saya.

Meningkatkan rasa percaya diri memang butuh waktu dan proses, namun bukan berarti sulit dipelajari. Lakukan saja secara alamiah. Selalu ingat bahwa tidak ada orang yang begitu lahir langsung punya rasa percaya diri sangat besar. Meningkatkan kualitas diri biasanya akan relevan dengan peningkatan rasa percaya diri.

9 thoughts on “Pengalaman Sebagai Staff IT : Meningkatkan Rasa Percaya Diri

  1. mantabz gan, owh boss nya lama tinggal diluar 🙂 , justru bagus tuh, orang luar, mau dia marah2 tp tetap pake otak nya, lebih rasional, lain orang pribumi marah2 gak jelas, di jelasin juga gak mau, anggap nya ” saya ini boss kmu , kmu anak buah saya ” klo dah gini ya ABS aja dah CMIIW

  2. i like it
    mas vavai staf IT ya 10 orang , klo bole tau,jumlah PC client+server yang ada di perusahaan tsb berapa ya?

  3. ceritanya seru banget om…. emang sih pengalaman lah yang membuat orang lebih percaya diri. karena memang biasa nya orang yang memiliki ilmu / keterampilan jika tak teruji dalam pengalaman mereka akan kurang percaya diri. dimana memang kasus nyata yang dialami dalam keadaan tertentu yang menjadikan ini sebagai pengalaman yang membuat kepercayaan diri bertambah.

  4. keren mas vavai salam kenal ya dari saya yg dulu pernah jadi staff it tapi cuman 2 bulan setengah ^_^. Pengalaman yang bisa menginspirasi saya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.