Pengalaman Memulai Jualan Pisang

Ini adalah cerita, share pengalaman. Bukan tips bukan saran, karena bisa saja beda situasi jika diterapkan ditempat lain.


Saat masih kecil, saya pernah berjualan es mambo, kue-kue buatan enyak (ibu) saya dan juga pernah berjualan petasan ? . Jadi meski pekerjaan saya belakangan lebih banyak terkait IT, saya tetap ada latar belakang pengalaman berjualan. Tapi isteri saya tidak memiliki latar belakang berjualan. Jadi saat saya sampaikan rencana berjualan pisang dengan membuka kios pisang, isteri saya heboh karena timbul banyak pertanyaan. Apa laku? Gimana kalau nggak laku? Gimana kalau pisangnya nggak laku dan jadi ada yang busuk? Gimana kalau ada yang komplain? Gimana menentukan harga jual? Gimana kalau rugi?

Pengalaman 1 : Exit Strategy
Oke, satu per satu ya. Pertanyaan pertama, “Apa laku?”
Ya harus dicoba lha ya. Kalau nggak dicoba, bagaimana bisa tahu akan laku atau tidak? Bagaimana memastikan agar bisa laku? Pilih pisang yang bagus, yang cakep dan yang menarik minat.

Gimana kalau nggak laku? Itu sebabnya kalau berencana jualan harus berpikir komprehensif. Kan berpikir saja mah nggak perlu bayar. Kita cuma memikirkan gimana kalau ada yang nggak laku, rugi dong? Iyalah. Terus bagaimana kalau terus rugi, bisa bangkrut dong? Iyalah. Terus kalau iyalah, gimana bisa usaha lagi.

Harus dipikirkan exit strategi-nya. Jalan keluarnya. Kalau pisang tampilannya kurang menarik, dia harus dipindah dari display utama. Harus ditentukan mau diapakan. Kalau pisang olahan seperti pisang nangka, itu bisa dijadikan kue pisang. Pisang uli atau kepok, dijadikan pisang goreng. Pisang ambon atau tanduk bisa dijadikan sebagai sale pisang.

Kalau pisangnya masih bagus hanya lepas dari sisir (patah), saya kirimkan ke team saya yang bekerja di lokasi lain. Pilihan lain adalah dikirimkan ke yayasan yang dikelola. Untuk cemilan anak-anak. Karena masalahnya hanya di tampilan saja.

Kalau sudah tidak bisa diselamatkan sama sekali atau sudah terlambat untuk diselamatkan, ya berarti dikirim jadi makanan ternak.

Hal-hal diatas akan mendidik kita mengenai manajemen ketersediaan stock. Berdasarkan data frekuensi penjualan setiap hari yang pada interval waktu tertentu dibuatkan ringkasannya (kesimpulan), akan terlihat pisang mana yang sebaiknya diperbanyak stocknya dan pisang mana yang cukup beberapa sisir saja ketersediaannya. Data tersebut juga akan membantu kita dalam mengatur perkiraan jumlah pisang matang dan pisang mentah.

Saat awal berencana berjualan pisang, saya tahu salah satu kendala utama adalah mengatasi masalah stock. Jika stock terlalu banyak sedangkan hasil penjualan sedikit, akan banyak pisang yang tidak menghasilkan pendapatan yang memadai. Benar bisa diolah kembali, namun nilai ekonominya jauh lebih rendah. Kalau stock dibuat sedikit saja, pembeli bisa jadi ragu untuk datang, karena hanya sedikit. Kita sebagai pembeli kelapa muda misalnya, tentu memilih penjual kelapa muda yang punya stock banyak dibandingkan yang sedikit, karena di penjual kelapa muda dengan stock banyak, kita bisa memilih mana yang sesuai dengan yang kita inginkan.

Masalahnya, kita tidak akan pernah tahu kisaran stock yang paling tepat jika tidak pernah mencobanya.

Saya memprediksi, 2 minggu hingga 1 bulan pertama adalah tahap pengenalan. Jadi by design harus ada persiapan budget untuk berdarah-darah di periode tersebut. Istilah di startup IT semacam bakar uang. Seperti Gojek dan Grab yang awal-awal banyak memberikan promo. Fokusnya adalah mengenalkan layanan dan membesarkan pangsa pasar. Bedanya, investor mereka punya power budget yang besar, berbeda dengan kita-kita yang punya power terbatas. Jadi budget yang disiapkan juga harus diperkirakan dan dikelola sebaik-baiknya.

Maksud sebaik-baiknya, budget diutamakan untuk hal-hal yang sifatnya mandatory atau wajib. Contohnya, untuk membeli pisang dengan kualitas yang bagus. Harganya bisa lebih mahal daripada pisang yang diserok seadanya. Pisang dengan harga 10 ribu per kg misalnya, sebenarnya oke saja kalau kita bisa jual diatas itu. Tapi pisang dengan harga seribu rupiah per kg tetap terasa mahal jika tidak bisa terjual dan menjadi sampah. Jadi harus dibedakan mana yang sifatnya pemborosan dan mana yang memang harus dilakukan.

Saya memang mengeluarkan budget untuk kebersihan tempat dan display, karena target pasar yang dikejar membutuhkan hal tersebut. Bisa saja saya menyewa tempat dengan budget lebih rendah dengan tampilan sederhana jika memang lingkungan target pembelinya membutuhkan hal tersebut.

Contoh pengelolaan budget misalnya, saya memakai meja bekas yang saya pakai di Excellent (kantor tempat saya bekerja sebagai team IT). Pisau untuk memotong saya ambil dari stock pisau di rumah. Untuk memotong tandan buah, saya gunakan gergaji kecil yang cukup bagus dan ergonomis dengan harga tidak sampai 50 ribu rupiah. Saat waktunya makan siang, saya pulang ke rumah untuk makan siang di rumah, jadi bisa berhemat.
Saat awal merintis usaha ya harus mau berkorban. Sacrifice. Kalau awal usaha pendapatan baru 50 ribu rupiah tapi makan habis 70 ribu rupiah berarti nombok. Meskipun punya budget, lama-lama akan habis juga. Jadi harus realistis dan mau menekan ego.

Pengalaman 2 : Menentukan Harga Jual
Bagaimana caranya menentukan harga jual? Karena baru pertama kali jualan pisang, ya tentu saya bingung. Keluarga juga bingung.

Kekhawatirannya pasti sama di semua orang yang baru mau usaha. Diberikan harga A, khawatir kemahalan, tidak ada yang beli. Diberikan harga B, khawatir terlalu murah dan tidak menutup biaya. Berarti harus dicari tahu harga yang tepat.

Ya itu masalahnya. Harga tepatnya berapa? Jangan ngomong tinggi padahal kosong. Contohnya ngomong, “Key of Success adalah Kunci Kesuksesan”. Kelihatannya elite ngomong pakai bahasa Linggis ? padahal nggak ada maknanya.

Percaya ya, nggak ada harga yang tepat. Nggak ada yang tahu. Kalau tidak pernah coba dilakukan.

Berarti kita harus cari tahu. Berarti mesti survei. Ini yang biasa dilakukan perusahaan, tapi kita lakukan dengan cara sederhana namun tetap kita bungkus dengan bahasa keren : riset pasar, hehehe…

Saya sering membeli pisang, karena saya memang penggemar pisang. Tapi yang saya beli hanya pisang yang saya sukai. Pisang Ambon pernah. Pisang Tanduk pernah. Pisang Raja Bulu pernah. Pisang Barangan, Lampung dan pisang Ampyang juga pernah. Tapi ada lebih banyak jenis pisang yang tidak pernah saya beli atau saya lupa harga. Jadi tetap harus ada riset. Dalam bentuk apa? Dalam bentuk, membeli pisang dari pedagang eceran. Dari tukang sayur atau dari penjual lain dipinggir jalan.

Saya berikan uang 100 ribu rupiah pada salah satu rekan yang biasa membantu saya. Pesannya : “Beli pisang masing-masing 1 sisir, jenisnya boleh pisang apa saja tapi yang umum dijual atau dibeli”. Dari situ akan ketahuan harga pasaran pisang. Tidak tepat sama karena tergantung besar kecilnya pisang dan juga tergantung penjualnya. Kalau penjualnya pingin cepat kaya kan bisa saja jual dengan harga mahal dan bertemu dengan kita yang lugu ya klop, pisang terjual dengan harga maksimum, hehehe..

Harga boleh berbeda tergantung penjual, tapi kalau kita membeli 2 atau 3x dengan ukuran yang umum, akan bisa didapatkan perkiraan harga pasaran. Kita bisa bandingkan lagi dengan bertanya pada teman yang biasa membeli pisang agar prediksi harga pasaran bisa lebih mendekati harga umumnya.

Mengapa tidak tanya ke penjual saja. Tanya ke penjual sayur, “Bang, pisang Ambon berapa?”. Kalau dijawab, nanti tanya lagi pisang yang lain dan seterusnya. Yang ada, bukannya dapat harga, kita malah kena damprat, “Kamu mau beli pisang apa tanya-tanya seperti mau sensus” ?

Ya nggak apa-apa keluar biaya untuk survei. Kan pisangnya juga bisa dimakan atau diolah. Jadi bukan biaya yang keluar percuma.

Setelah mendapatkan harga pasaran untuk penjualan, tugas selanjutnya adalah mencari pisang untuk dijual. Meski dari kebun sendiri, biaya HPP (Harga Pokok Penjualan) bukan nol ya. Jangan mentang-mentang hasil tanam sendiri di pekarangan, dianggap biayanya nol, jadi dijual 10 ribu 1 tandan juga masih untung. Iya masih untung tapi bisa merusak harga.

Saya survei ke pasar, ke pengepul pisang. Kali ini datang untuk membeli pisang per tandan atau per sisir untuk dijual kembali. Pisang yang dipilih adalah pisang yang belum diproduksi di kebun sendiri. Jadi pisang untuk melengkapi display dagangan berdasarkan frekuensi yang ditanyakan.

Jangan kaget ya, kadang penjual dengan level pengepul juga nggak kira-kira memberikan harga. 1 sisir pisang diminta 35 ribu sampai dengan 40 ribu per sisir. Saya beli pisang jenis tersebut di eceran saja harganya 15-30 ribu rupiah. Kalau dipengepul dijual dengan harga 35 ribu rupiah, lantas berapa harga penjualan di eceran?

Kita sama-sama tahu, semua juga ingin harga bagus. Petani ingin dapat harga bagus. Pengepul ingin dapat harga (dan margin bagus). Penjual eceran juga sama. Jadi memang harus keseimbangan.

Karena kita sudah tahu harga eceran, kita jadi punya dasar untuk menawar pada pengepul. Tidak dalam konteks menekan harga melainkan untuk memudahkan saat menjual eceran (karena saya juga petani dan tentu senang kalau harga jual di level petani bisa bagus). Kalau misalnya harga eceran 20 ribu rupiah, kita bisa ada kisaran margin jika mendapatkan pisang dengan harga dibawah itu, misalnya 15 ribu atau 17 ribu.

Bagaimana jika kita membeli pisang 1 tandan dan ukurannya beragam. Ada yang besar dan ada yang kecil. Bagaimana menentukan harga jual per sisir? Disini kita bisa dibantu timbangan. Saya membeli timbangan digital (sebenarnya untuk menimbang sale dan keripik pisang). Saya pilih salah satu pisang dengan perkiraan harga yang sudah diketahui. Misalnya 1 sisir pisang dengan ukuran yang sama yang pernah kita beli dihargai 15 ribu rupiah. Kita timbang beratnya. Nanti harga dibagi berat akan didapat harga per gram.

Contohnya, 1 pisang dengan perkiraan harga 15 ribu rupiah ternyata beratnya 1.5 kg. Berarti harga per gram 10 rupiah. Kalau ada pisang lain dengan berat 1 kg, perkiraan harganya 10 ribu rupiah. Pisang lain yang lebih kecil dengan berat 850 gram berarti harganya 8500 rupiah.

Bagaimana jika beratnya tidak bulat? Misalnya beratnya 935 gram. Apakah dijual dengan harga 9350 rupiah? Ya boleh saja. Tapi saya biasanya mengambil pembulatan kebawah. Misalnya jadi 9000 rupiah.

Setelah dapat harga dan dibandingkan dengan harga pokok sudah mendapat margin, saya membuat label harga. Saya membeli alat pembuat label harga merk Joyko. Mengapa diberi label? Karena repot jika harus mengingat harga masing-masing pisang, nanti kisaran harganya kacau.

Kalau sudah ada label harga, kita bisa dengan mudah mengecek harga. Kalaupun satu saat kita tidak ditempat dan kios ditunggui oleh orang lain atau oleh orang yang dipekerjakan, mereka bisa menjualnya dengan mudah karena harganya sudah ada.

Bagaimana kalau sudah ada label harga tapi tetap ditawar. Ya tidak apa-apa. Namanya konsumen kan boleh saja menawar. Kalau tawarannya nggak masuk ya disampaikan dengan sopan. Kalau bisa dipenuhi, kan bisa menyenangkan konsumen. Misalnya pisang dengan harga 15 ribu rupiah. Kondisinya sudah matang sempurna. Kalau lewat 1-2 hari kemungkinan tampilan tidak menarik. Daripada malah lepas hanya karena pembeli menawar lebih rendah seribu-dua ribu rupiah, bisa diiyakan meski marginnya jadi lebih kecil.

Kalau sudah beberapa kali, nanti keluwesan bisa didapat dengan sendirinya. Pernah salah tidak apa-apa kok, asal jangan keseringan. Kalau kita takut salah dan serba takut mengambil keputusan, sampai tahun dua juta juga kita nggak akan pernah mencoba sesuatu yang sebenarnya berpeluang dan menarik untuk dilakukan.

Panjang sekali cerpennya? Ini bukan cerpen, ini cerbung, cerita bersambung ? . Karena saya biasa menulis blog, jadi harap maklum kalau tulisannya panjang. Lagian salahnya sendiri kenapa dibaca, hehehe… Ini juga pengalaman pribadi, jadi dishare disini dengan harapan kalau ada kesalahan, rekan yang lain bisa menghindarinya. Jika ada yang bagus, bisa dicoba ditempat masing-masing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.