Pengalaman dari Jarak yang Memisahkan
Saat lulus SD, saya memutuskan bersekolah di SMPN 1 Tambun di kota kecamatan, cukup jauh dari rumah saya di kampung, meski di dekat rumah ada sekolah lain juga. Bukan karena pertimbangan macam-macam, karena pertimbangan utama adalah soal pengalaman. Jika saya bersekolah disamping rumah saya misalnya, pengalaman yang saya dapat adalah dari rumah ke sekolah yang bersebelahan saja.
Saat lulus SMP, saya memilih sekolah di SMAN 2 Bekasi dengan opsi pilihan di SMAN 1 dan SMAN 3 Bekasi. Ini jaraknya lebih jauh lagi, karena SMAN 2 Bekasi ada di kota Bekasi. Saya harus naik kendaraan umum beberapa kali dan perlu berangkat lebih pagi. Opsi lain adalah sekolah STM (SMK) di daerah Cakung atau Pulo Gadung atau Karawang. Mengapa tidak SMAN 1 Tambun misalnya, yang jaraknya lebih dekat. Kan bagus juga, apalagi kakak saya ketua OSIS disana, jadi bisa ada peluang ada yang membuka jalan?
Lagi-lagi pertimbangannya adalah pengalaman. Saya berharap sekolah di SMAN 2 Bekasi bisa membuka pengalaman yang lebih luas karena jaraknya memang lebih jauh. Dan ini memang saya alami. Saya bisa bertemu teman-teman yang jauh lebih beragam latar belakangnya. Apakah itu tidak akan saya dapatkan jika saya bersekolah ditempat yang lebih dekat dengan rumah saya? Ya saya tidak tahu, karena kan saya tidak mengalaminya 😛
Saat adik saya Maryadi “Ackoy” berencana kuliah, saran yang didapat dari keluarga adalah mencari kampus yang dekat-dekat saja, jika perlu bisa ulang alik. Misalnya di Bekasi atau Jakarta. Boleh kampus negeri boleh kampus swasta. Tapi saya kurang setuju. Saya bilang padanya, lebih baik pilih Bandung atau Semarang atau Yogya atau kota manapun dengan kualitas kampus yang bisa meningkatkan kualitas dirinya sendiri. Boleh saja di Bekasi atau Jakarta atau kota lain yang relatif dekat tapi itu harus dipilih atas dasar pertimbangan kualitas dan prestasi, bukan sekedar karena dekatnya.
Akhirnya dia memilih Bandung. Meski terbilang dekat, ibu saya sempat nggak bisa makan karena menganggap anaknya jauh. Karena semua anak-anaknya relatif dekat dan tidak ada yang merantau. Saya meyakinkan ibu saya bahwa jarak akan memberikan pengalaman dan pendidikan. Bisa mendidik karakter dan menumbuhkan sifat mandiri. Bisa lebih bertanggung jawab. Bisa saja muncul hal yang negatif tapi kan kita bisa menyiapkan langkah preventifnya.
Di Excellent saya mendorong team untuk mau keluar dari zona nyaman. Mereka harus mau traveling. Harus berani mempersiapkan diri. Berani melawan kekhawatiran. Mencoba belajar dari pengalaman dan perjalanan. Jangan terkungkung dengan lingkungan.
Melawan Kekhawatiran : Passport & Traveling
Saya berikan contoh-contoh rekan yang berpetualang di berbagai daerah maupun negara. Pengalaman itu nggak bisa didapatkan dari sekedar membaca. Kalau kita nyasar di suatu tempat atau di suatu negara, pengalaman yang didapatkan bukan sekedar musibah nyasarnya, tapi bisa jadi pengalaman-pengalaman lain yang menarik.
Saya tidak mau terlibat hiruk pikuk soal diskursus pro dan kontra soal zonasi, tapi saya hanya sekedar menambahkan sudut pandang bahwa semua serba dekat tidak selalu menghasilkan hasil yang baik. Jauh lebih baik jika semuanya dibuat imbang. Jarak boleh dijadikan pertimbangan, prestasi juga jangan dilupakan.
Dan jangan membiasakan diri melakukan generalisasi. Jika sudah melakukan generalisasi, pasti yang terjadi adalah pemaksaan sudut pandang.
Kudengar gemuruh ombak lautan
Nyanyian daun-daun dan serangga malam
Angin mendesau membisikkan sesuatu
Dan bau tanah pegunungan memanggiliku
Maka kutinggalkan rumah dan ranjang mimpi
Pergi mengembara ke belantara sunyi
Menggendong ransel sarat beban
Oh, apa sebenarnya yang kau buru?
Lakon apa yang ingin kau mainkan?
Ya, akulah si pengembara
Terus bergerak ke cakrawala
Walau beribu kali tersungkur kenyataan
Jiwaku menolak kebuntuan jalan
Ya, akulah si pengembara!
(Balada si Roy, Blue Ransel)
puisinya keren Om,….
ku ikuti kemana kaki melangkah
ku ikuti kemana hembusan angin membawaku
kunikmati hamparan luas diatas awan
puisinya bagus gan,
jempolan
Nice post, it is useful for me.