Menjerumuskan Diri pada Kesulitan

Adakalanya (atau justru kerapkali), kesulitan yang kita alami dalam hidup itu bukan kesulitan yang benar-benar tidak bisa dihindari, melainkan kesulitan yang timbul karena kita sendiri yang membiarkan diri terjerumus kedalamnya.

Image by Sathish kumar Periyasamy from Pixabay

Semalam saya bercerita sekaligus memberi nasihat pada Zeze Vavai dan Vivian bagaimana seharusnya bersikap dan memilih suatu keputusan.

Beberapa tahun yang lalu, saat belum menikah (namun sudah dalam proses engagement ? ) dengan Dear Rey, saya bertemu dengan Dear Rey di kampus STMIK Bani Saleh. Malam itu sebagai asisten lab software/komputer saya tidak memiliki jadwal, demikian halnya dengan Dear Rey.

Dear Rey bertanya pada saya, “Makan di luar yuk…”

Saat itu sumpah banget saya nggak punya uang. Uang saya pas-pasan. Tidak akan cukup untuk menanggung biaya makan berdua di luar, misalnya makan fast food. Karena saya termasuk konservatif dan masih jaim, saya otomatis berasumsi bahwa laki-laki yang harus membayar makannya.

Karena saya tidak punya uang yang cukup, pilihan terbaik saya adalah bilang apa adanya pada Dear Rey bahwa saya tidak punya uang. Selesai.

Tapi bukan jawaban itu yang saya sampaikan. Saya terlalu takut bilang karena khawatir Dear Rey jadi under estimate pada saya. Saya khawatir, kalau cowok diajak makan diluar saja nggak punya uang, gimana nanti bisa menghidupinya saat berkeluarga. Intinya saya takut gara-gara saya menolak makan diluar karena gak punya uang, Dear Rey bilang “Putus”.

Zeze Vavai sempat bertanya, mengapa saya nggak bohong saja. Misalnya bilang, “Maaf saya lagi diet…”

Vivian tertawa geli saat saya bilang pada Zeze Vavai bahwa saya nggak mungkin beralasan diet. “Waktu itu papap masih kurus Vai, masih kayak tiang listrik. Mana mungkin alasannya nggak makan karena diet” ?

Saya juga nggak bisa beralasan, “Wah, nanti saja ya, soalnya tadi habis makan”. Lah kan yang laper Dear Rey, jadi misalnya tetap makan diluar tapi jatah saya dibungkus kan judulnya tetap saja harus persiapan uang.

Lantas, apa jawaban saya menghadapi situasi genting dan sulit (dalam ukuran saya) saat itu?

Jawaban saya adalah jawaban gila. Saya jawab, “Hayuk…”

Habis menjawab begitu, saya mumet berpikir nanti bayar makanannya bagaimana.

Jadilah kami meluncur ke BCP (Bekasi Cyber Park), saat itu namanya masih Hero Supermarket. Karena di McD penuh, kami pindah ke bawah, ke gerai fast food lain, yaitu gerai CFC (California Fried Chicken).

Saya semakin kacau dengan perilaku irasional saya, yaitu saya langsung antri didepan kasir. Saat saya antri, celakanya adalah, Dear Rey mau ke toilet. Kalau nanti ke toiletnya lama kemudian saya sudah sampai didepan kasir, bayarnya pakai apa?

Akhirnya dengan menahan rasa malu dan berperilaku seperti orang tidak punya salah, saya bilang pada Dear Rey, “Uang buat bayar makanan dong…”

Dear Rey sempat bengong tapi kemudian menyerahkan uang dan berangkat ke toilet.

Setelah pesanan selesai dan kami makan bersama, berbagai pikiran berkecamuk di otak saya. Antara rasa malu dan lapar ditambah dengan rasa makin sayang dan cinta pada Dear Rey. Saya merasa terselamatkan dari kesulitan hidup besar, hehehe…

Saat sudah menikah dan kemudian saya bercerita soal itu, Dear Rey menjawab dengan enteng, “Lagian, kenapa nggak jujur saja bilang nggak punya uang, kan selesai.”

Iya ya, kenapa saya nggak memilih jujur saja. Kalau misalnya saya berkata jujur kemudian lantas hubungan jadi bubar, masya iya sih. Kebangetan banget putus gara-gara nggak bayar makan bersama sekali. Dan lagi, andaikan bubar hanya gara-gara masalah itu, kan malah terselamatkan, karena bisa jadi hubungan yang dibangun tidak cukup penting atau tidak cukup berharga untuk dilanjutkan.

Jadi pesan sponsor saya pada Zeze Vavai sebagai laki-laki, jujur saja kalau kita menghadapi situasi seperti itu, insya Allah terhindar dari masalah yang semakin besar. Coba bayangkan jika seandainya gara-gara saya bilang “Hayuk…” dan Dear Rey nggak bawa uang cukup dan kami berdua dengan pede-nya ke gerai makanan dan baru menyadari masing-masing berpikir punya uang atau dibayari pasangan. Kan malah tambah cilaka ?

Hal diatas mungkin kelihatan sepele dan berpikir, “Lagian kok hal seperti itu saja bukannya dibawa santai”, masalahnya hal kecil bagi orang lain belum tentu hal kecil juga buat saya. Sewaktu SMP, model cukuran rambut saja jadi masalah buat saya. Tali sepatu saja jadi masalah buat saya. Saat SMA, tas saja jadi masalah buat saya. Terlalu banyak hal yang bisa menjadi masalah buat saya.

Saya pernah membaca, ada yang pernah terjebak hutang besar hanya gara-gara dia gengsi terhadap diri dan lingkungannya. Dia nggak mau kelihatan seperti orang tidak punya atau datang dari keluarga kurang mampu. Alih-alih berusaha kerja keras, dia malah membiayai gaya hidupnya dengan hutang, yang makin lama semakin menenggelamkannya kedalam kesulitan hidup.

Sebelum menikah dengan Dear Rey, saya pernah punya hutang yang cukup besar. Totalnya 10 juta rupiah, sudah saya bayarkan sebagian dan sisanya sekitar 2-3 juta rupiah. Nilai itu besar sekali bagi saya, yang saat itu berpenghasilan sekitar 2 juta rupiah per bulan. Hutang itu adalah sisa dari kredit tanpa agunan dari salah satu bank. Alih-alih berkata jujur soal situasi yang saya hadapi, saya masih bermain-main dengan ilusi.

Setelah menikah, saya menyerahkan seluruh penghasilan saya pada Dear Rey. Akibatnya hutang itu tidak terbayar-bayar. Tidak lunas-lunas. Makin lama saya jadi sering ditelepon oleh pihak bank. Saya jadi semakin panik tiap kali menerima telepon. Hidup jadi gelisah. Tidak pernah tenang.

Bahkan saat shalat saja saya sampai kepikiran soal hutang-hutang itu (dan anehnya, malah lupa berdoa bagaimana caranya bisa menyelesaikan hutang).

Sampai akhirnya satu waktu saya terpojok. Saat itu saya sedang berdua dengan Dear Rey dan saya mendapat telepon dari pihak bank. Saya menjawab terbata-bata dan bingung. Setelah selesai bicara via telepon, Dear Rey bertanya ada apa, kok nggak cerita pada isteri sendiri.

Akhirnya saya menyerah. Saya bilang apa adanya, cerita jujur mengenai hutang saya itu. Setelah mendengar cerita saya, Dear Rey mengambil uang tabungannya dan minta saya melunasi hutang tersebut. Saat memutuskan hal tersebut, saya melihat Dear Rey melakukannya sebagai sesuatu yang normal. Sebagai isteri yang membantu suami (versi saya ya, hehehe). Seperti melakukan hal yang memang sudah seharusnya dilakukan.

Jadi semenjak pengalaman-pengalaman itu, saya baru memahami bahwa kita tidak selayaknya menjerumuskan diri dan hidup kita pada kesulitan hidup yang sebenarnya bisa dicegah. Bersikap jujur, terutama pada pasangan membuat hidup jauh lebih mudah, rezeki jadi lebih mudah mendekat dan insya Allah jadi lebih berkah.

Mengapa kita harus menutupi sesuatu dengan berbagai kepalsuan? Cepat atau lambat kita tahu hal tersebut akan terbuka juga. Jika kita menganggap diri kita sebagai sosok yang berharga, mengapa kita takut mengambil resiko untuk bersikap jujur, hidup apa adanya, menjalani hidup sebagaimana mestinya. Tidak repot menutupi segala sesuatu dan tidak lelah menjalani hidup artifisial.

Semoga bermanfaat ya, siapa tahu banyak orang seperti saya ini yang terlalu ribet untuk bisa memahami dan mengetahui banyak hal fundamental dalam hidup.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.