Mengatur Ritme Pekerjaan

Saat bermain ke Kebumen beberapa waktu yang lalu, kami mampir ke rumah family di daerah Prembun. Daerahnya masih hijau rimbun pepohonan dan dikelilingi sawah dan ladang. Sejuk di pagi dan sore hari, dingin di malam hari, apalagi saat kami kesana saat musim hujan di akhir bulan Desember 2018.

Keluarga di Prembun bekerja sebagai petani. Ada ternak ayam dan bebek maupun kolam ikan sebagai selingan. Saat musim tanam dan musim panen tentu bekerja keras. Namun meski bekerja keras sebagaimana petani pada umumnya, ritme pekerjaan mereka berbeda dengan ritme para pekerja di kota. Tentu saja ya 😀

Maksudnya, ritme pekerjaan petani, meski kelihatannya bekerja lebih keras, ada keseimbangan antara waktu bekerja dengan waktu istirahat. Keseimbangan antara kerja keras dengan bersantai.

Petani umumnya tidak diburu waktu di pagi hari. Masih sempat minum teh atau ngopi dengan cemilan goreng pisang atau rebusan singkong. Jarang yang berangkat ke sawah sehabis Shubuh atau di waktu Shubuh. Waktu Shubuh ya waktunya mandi dan shalat, bukan waktunya berangkat ke sawah 🙂

Pagi bekerja keras, siang beristirahat untuk makan siang dan shalat Dzuhur. Pulang ke rumah menjelang Ashar dan sudah mandi bersiap ke masjid untuk shalat Maghrib. Selepas maghrib sudah bersantai di rumah. Selepas Isya bisa tidur cepat, untuk bangun pagi shalat Shubuh keesokan harinya.

Bandingkan dengan kita yang tinggal di daerah kota metropolitan dan sekitarnya. Kadang bangun Shubuh untuk mengejar keberangkatan kereta. Telat berangkat, keretanya sudah berjubel. Butuh perjuangan ekstra untuk bisa sampai di tujuan.

Pulang ke rumah sudah malam. Itupun kadang masih membawa pekerjaan yang harus diselesaikan. Kita jadi lupa mana waktu dan jam kerja dan mana waktu untuk bersantai.

Sudah berjuang seperti demikian saja, kadang penghasilan masih terasa pas-pasan untuk membiayai kebutuhan hidup. Untuk mencukupinya, kita harus bekerja lebih keras lagi, kadang melebihi ukuran normal.

Jadi sebenarnya, kita yang mengatur pekerjaan atau pekerjaan yang mengatur kita?

Saya menulis hal diatas, karena kesibukan yang demikian sibuk bukan hanya monopoli pekerja kantoran yang ulang-alik ke kota metropolitan saja. Team Excellent yang bekerja di daerah pinggiran di Bekasi atau saya yang menjalani wirausaha saja masih kerap tertelikung pressure pekerjaan.

Saat malam misalnya, kadang kerap tertukar antara hobi dengan pekerjaan. Kadang ada klien yang membutuhkan support justru selepas jam kantor. Jika kebutuhannya urgent dan klien memang berlangganan paket support yang sesuai dengan tingkat responnya, otomatis kebutuhan tersebut ditangani juga. Jika dibiarkan terus menerus, kita jadi lupa pada esensi pekerjaan yang kita lakukan untuk membahagiakan diri kita sendiri.

Mengatur ritme pekerjaan tentu bukan pekerjaan mudah, namun juga bukan berarti lantas kita menyerah pada tekanan tersebut. Langkah terbaik adalah menyiasatinya, agar tetap ada keseimbangan antara waktu untuk pekerjaan dengan waktu untuk kebahagiaan hidup kita dan lingkungan terdekat kita.

Jangan sampai bekerja keras sampai lupa waktu, lupa kesehatan dan lupa pada esensi sebenarnya kita melakukan pekerjaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.