Melawan Rasa Takut, Menyiasati Kekhawatiran
Saat mula pertama full wirausaha, saya sempat dihinggapi rasa takut dan khawatir. Takut jika keputusan wirausaha merupakan keputusan yang salah, khawatir jika gara-gara keputusan ini penghidupan dan pendapatan keluarga jadi terganggu. Saat memutuskan untuk full berwirausaha, saya sudah berkeluarga dengan 1 isteri dan 2 anak. Jika rencana saya gagal, bukan hanya saya yang tidak bisa makan, melainkan juga isteri dan anak, kira-kira begitu konsekuensinya.
Saat pertama kali ke luar negeri, saya takut nanti kebingungan saat di bandara tujuan. Takut nggak mengerti bahasanya, tulisannya, komunikasinya. Padahal pertama kali keluar hanya ke Thailand, namun tetap ada perasaan khawatir jika saya malah nyasar atau kebingungan di tujuan.
Bertahun-tahun saya tidak berani menyetir mobil, takut jika nubruk tembok, menyerempet kendaraan lain, terjebak macet di rel kereta dan lain-lain. Tiap kali mendengar berita soal mobil yang terbang menjebol tembok parkir atap gedung, saya membenar-benarkan alasan saya untuk tidak nyetir. “Tuh, bahaya kan kalau nggak ngerti, nginjek rem malah nginjek gas, mobil jadi terbang dan celaka….”
Ada banyak hal yang membuat saya takut, sejak saya kecil hingga dewasa. Bentuknya juga bermacam-macam. Karena rasa takut itu, saya cenderung untuk tidak mau menonjol, tidak mau ikut kegiatan, tidak mau melakukan hal-hal yang saya anggap akan membuat saya tambah takut.
Saya tidak mau aktif, karena khawatir ditunjuk jadi ketua kelas atau ketua kelompok atau ketua kegiatan. Nanti jadi banyak beban. Saya lebih baik jadi anak buah saja, tidak usah memikirkan tanggung jawab, tidak perlu dimarahi, tinggal ikut apa perintah ketua.
Padahal, rasa takut dan khawatir itu bukan sesuatu yang salah. Itu adalah perlindungan natural kita untuk mencegah hal-hal yang buruk. Yang menjadi masalah adalah jika kita malah tersandera oleh rasa takut dan khawatir sehingga malah berhenti beraktivitas atau tidak mau mengambil resiko, tanggung jawab dan petualangan baru.
Rasa takut dan khawatir itu wajar. Untuk menyiasatinya, kita bisa berusaha belajar untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Saat saya mulai wirausaha, itu tidak serta merta saya hari ini wirausaha dan besoknya berhenti dari pekerjaan. Saya sempat menjalaninya beberapa lama, lebih dari satu tahun. Saya sudah membuat kalkulasi kebutuhan rumah tangga, prediksi pendapatan, analisa resiko dan lain-lain. Hasilnya adalah cukup menjanjikan, kecuali ada hal tertentu yang sifatnya force majeure dan membuat perkiraan saya kacau.
Dari persiapan itu, saya tinggal memutuskan, apakah saya akan tetap menahan diri untuk wirausaha dengan resiko penyesalan di masa tua karena saya tidak mencoba hal tersebut ataukah saya memilih untuk mencoba menjalankannya, dengan meminimalisir resiko yang ada. Akhirnya saya memutuskan untuk menjalankan rencana saya berwirausaha dan saya tidak menyesali perjalanan maupun hasil wirausaha tersebut.
Sebelum saya memutuskan keluar negeri pertama kali, saya membuat rencana negara yang saya kunjungi. Saya baca tulisan motivasi dari pak Rhenald Kasali yang mewajibkan mahasiswanya untuk keluar negeri demi memperluas wawasan. Saya cari tahu seluk beluk negara tujuan. Tips kesana, apa saja yang perlu dibawa, apa saja yang perlu disiapkan, makanan apa yang cocok hingga tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. Gimana kalau nyasar? Nyasar itu bagian dari petualangan dan itu bisa menjadi tambahan cerita menarik dari perjalanan kita.
Untuk menyiasati rasa takut saat pertama kali mencoba nyetir, saya ambil kursus. Saya berusaha dapatkan ilmu dan teorinya. Setelah itu saya coba praktek. Saya mencoba tiap hari pulang pergi nyetir ke kantor. Pertama nyetir kecepatannya rendah sekali, mungkin bisa dibalap sepeda. Mungkin ada yang sebel karena saya nyetir terlalu lambat atau belok terlalu pelan atau lupa nyalakan lampu. Saat pertama nyetir saya lupa cara buka jendela, kwkwkw… Setelah nyetir hampir satu bulan saya masih belum tahu cara menyalakan wiper belakang. Toh saya bisa tetap nyetir karena pas kebetulan musim kemarau dan tidak hujan.
Kalau tanya ke orang, gimana bisa nyetir hingga terbiasa, jawabnya adalah dapatkan feeling. Gimana dapat feeling, ya sering nyetir. Apakah tidak takut saat parkir ke atas gedung? Tidak, kan sama saja hanya itu muter-muter. Kan kita juga bisa ukur seberapa banyak gas perlu kita injak.
Apa tidak takut saat terjebak macet di rel kereta? Ya takut lah. Tapi kan kita bisa antisipasi. Kalau memang sudah ning nong ning nong, jangan paksa menerobos seperti kita sedang bawa sepeda motor. Sudah berhenti saja, tunggu sampai aman. Bagaimana kalau pas palang dibuka, motor langsung tumplek didepan mobil? Ya jalankan pelan-pelan, kan semua orang nggak ada yang mau ditubruk juga kok.
Jadi jangan karena rasa takut lantas kita diam tidak mau melakukan apapun. Jangan karena khawatir kita lantas serba cari aman. Perahu kan nggak jalan kalau dia ada di dermaga terus. Dia jalan kalau dibawa ke laut, diterpa angin dan ombak. Sepanjang kita siapkan sebaik-baiknya, kita harusnya bisa menyiasati rasa takut dan khawatir itu karena kalaupun hasilnya tidak sesuai harapan, kita bisa mendapat pembelajaran dari hal itu.
Kalau kita sudah mencoba yang terbaik, soal hasil kan tinggal mengikuti jalan takdir kita.