Legacy

Jika membaca berita soal berpulangnya seseorang, saya kadang berpikir mengenai capaian yang telah ia lakukan. Jika membaca berita mengenai professor dengan sederet gelar akademik berpulang, saya berpikir, “Wah, sudah tinggi pendidikannya, pada akhirnya akan selesai juga”.

Jika membaca berita mengenai tokoh yang berpulang, berpikir, “Wah dulu termasuk ditakuti. Meniti karier dari bawah, punya jabatan berpengaruh, kemudian akhirnya meninggal”.

Ada juga orang yang kaya raya. Harta dimana-mana. Perusahaan banyak berserak. Jaminan kesehatan nomor satu. Kalau perlu, vaksin belum diciptakan dia sudah divaksin. Dokter yang merawat pilihan kelas satu. Tapi kalau sudah waktunya, tetap akan berakhir juga.

Jadi berpikir, gelar panjang, pangkat tinggi, harta kekayaan berlimpah pada akhirnya akan ditinggalkan juga. Lantas, berarti nggak penting dong itu semua?

Konteks pemikirannya sebenarnya bukan soal penting nggak penting, melainkan pada legacy. Pada warisan. Pada jejak-jejak yang ditinggalkan.

Jika kita mengejar pendidikan tinggi dengan titel berderet, mungkin legacy-nya tidak ada jika kita melulu mengejar-ngejar titel tanpa pernah berusaha mengaplikasikannya. Tanpa berusaha menjadikannya nilai bermanfaat.

Kita mungkin ditakuti jika memiliki pangkat tinggi. Pangkat tinggi mungkin bisa memberikan privilege dan keistimewaan, apalagi jika memiliki jabatan berpengaruh. Tapi apa legacy-nya jika yang dilakukan hanya memikirkan dirinya sendiri. Jangan sampai bukan manfaat yang didapatkan malah jejak-jejak negatif yang ditinggalkan. Jangankan saat sudah tiada, kadang saat sudah tidak memiliki jabatan atau saat sudah pensiun, mungkin akan merasakan bahwa keistimewaan itu temporer dan harusnya dimanfaatkan sebaik mungkin bagi kebaikan masyarakat banyak.

Memiliki harta banyak itu bukan kejahatan. Bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarga itu malah dianjurkan, agar tidak menjadi beban bagi pihak lain. Namun harta banyak juga bisa menjadi sumber perselisihan bagi yang ditinggalkan. Jadi kembali lagi pada warisan yang ditinggalkan, pada jejak-jejak manfaat yang pernah dilakukan.

Saya masih selalu ingat tulisan seorang rekan, mas Dedi Gunawan mengenai contoh legacy.

“Kanjeng Nabi Muhammad SAW di usia 40 sudah selesai dengan dirinya sendiri. Fokusnya memikirkan umat. Memikirkan kemaslahatan masyarakat banyak”.

Kalimat itu mungkin seperti kalimat biasa, namun bagi saya memiliki filosofi mendalam. Bagi seorang muslim, sosok kanjeng Nabi tentu menjadi sosok yang cocok untuk dijadikan sebagai rujukan suri tauladan.

Jika kita sudah selesai dengan urusan diri kita, itu artinya kita sudah harus mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga. Nggak mungkin memikirkan pihak lain (dalam hal ini masyarakat/umat) jika kita sendiri masih kelimpungan memikirkan kehidupan diri sendiri dan keluarga.

Jika kita sudah mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga dan kita masih sibuk dengan berbagai hal pribadi yang ingin kita raih, kalimat diatas mengingatkan kita, “Kok masih belum cukup juga” ๐Ÿ™‚

Jika kita masih belum mencukupi kebutuhan kita dan keluarga, kalimat itu menjadi penyemangat, agar kita jangan menyerah dan tetap berkomitmen meningkatkan kualitas kehidupan kita. Agar kita bisa tetap memiliki waktu untuk memberikan legacy terbaik kita.

Life begin at 40 itu bisa juga dibaca bukan sekedar pendewasaan pribadi tapi juga agar kita bisa meninjau ulang apakah yang kita lakukan sebenarnya sudah cukup sesuai jalur atau kita masih berkutat pada urusan itu-itu saja.

Jika membaca berita mengenai tokoh yang berpulang, berpikir, “Wah dulu termasuk ditakuti. Meniti karier dari bawah, punya jabatan berpengaruh, kemudian akhirnya meninggal”.

Ada juga orang yang kaya raya. Harta dimana-mana. Perusahaan banyak berserak. Jaminan kesehatan nomor satu. Kalau perlu, vaksin belum diciptakan dia sudah divaksin. Dokter yang merawat pilihan kelas satu. Tapi kalau sudah waktunya, tetap akan berakhir juga.

Jadi berpikir, gelar panjang, pangkat tinggi, harta kekayaan berlimpah pada akhirnya akan ditinggalkan juga. Lantas, berarti nggak penting dong itu semua?

Konteks pemikirannya sebenarnya bukan soal penting nggak penting, melainkan pada legacy. Pada warisan. Pada jejak-jejak yang ditinggalkan.

Jika kita mengejar pendidikan tinggi dengan titel berderet, mungkin legacy-nya tidak ada jika kita melulu mengejar-ngejar titel tanpa pernah berusaha mengaplikasikannya. Tanpa berusaha menjadikannya nilai bermanfaat.

Kita mungkin ditakuti jika memiliki pangkat tinggi. Pangkat tinggi mungkin bisa memberikan privilege dan keistimewaan, apalagi jika memiliki jabatan berpengaruh. Tapi apa legacy-nya jika yang dilakukan hanya memikirkan dirinya sendiri. Jangan sampai bukan manfaat yang didapatkan malah jejak-jejak negatif yang ditinggalkan. Jangankan saat sudah tiada, kadang saat sudah tidak memiliki jabatan atau saat sudah pensiun, mungkin akan merasakan bahwa keistimewaan itu temporer dan harusnya dimanfaatkan sebaik mungkin bagi kebaikan masyarakat banyak.

Memiliki harta banyak itu bukan kejahatan. Bisa memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan keluarga itu malah dianjurkan, agar tidak menjadi beban bagi pihak lain. Namun harta banyak juga bisa menjadi sumber perselisihan bagi yang ditinggalkan. Jadi kembali lagi pada warisan yang ditinggalkan, pada jejak-jejak manfaat yang pernah dilakukan.

Saya masih selalu ingat tulisan mas Dedi Gunawan mengenai contoh legacy.

“Kanjeng Nabi Muhammad SAW di usia 40 sudah selesai dengan dirinya sendiri. Fokusnya memikirkan umat. Memikirkan kemaslahatan masyarakat banyak”.

Kalimat itu mungkin seperti kalimat biasa, namun bagi saya memiliki filosofi mendalam. Bagi seorang muslim, sosok kanjeng Nabi tentu menjadi sosok yang cocok untuk dijadikan sebagai rujukan suri tauladan.

Jika kita sudah selesai dengan urusan diri kita, itu artinya kita sudah harus mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga. Nggak mungkin memikirkan pihak lain (dalam hal ini masyarakat/umat) jika kita sendiri masih kelimpungan memikirkan kehidupan diri sendiri dan keluarga.

Jika kita sudah mencukupi kebutuhan hidup kita dan keluarga dan kita masih sibuk dengan berbagai hal pribadi yang ingin kita raih, kalimat diatas mengingatkan kita, “Kok masih belum cukup juga” ๐Ÿ™‚

Jika kita masih belum mencukupi kebutuhan kita dan keluarga, kalimat itu menjadi penyemangat, agar kita jangan menyerah dan tetap berkomitmen meningkatkan kualitas kehidupan kita. Agar kita bisa tetap memiliki waktu untuk memberikan legacy terbaik kita.

Life begin at 40 itu bisa juga dibaca bukan sekedar pendewasaan pribadi tapi juga agar kita bisa meninjau ulang apakah yang kita lakukan sebenarnya sudah cukup sesuai jalur atau kita masih berkutat pada urusan itu-itu saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.