Khutbah Jum’at yang Menginspirasi
Saat hendak menulis artikel ini, saya teringat tulisan saya di tahun 2007 lalu, “Khutbah Jum’at yang Membumi” 😉
Hari Jum’at kemarin, 6 Juli 2012, saya berkunjung ke salah satu calon klien di jalan Denpasar Raya, Kuningan (dekat Kedubes Malaysia) Jakarta. Presentasi saya berakhir saat Shalat Jum’at hendak dimulai jadi langsung saja saya beranjak ke Masjid yang tepat ada di jalan Denpasar Raya (depan gedung Paramitha tempat kantor klien saya).
Suasana Jum’atnya terasa nyaman karena saya duduk dipelataran luar, jadi bisa menikmati angin sepoi-sepoi dan cukup sejuk. Saat saya masuk, Khatib sudah mulai memberikan khutbah. Suaranya tidak terlalu keras namun cukup terdengar dengan jelas. Kalau dirangkum, temanya adalah menjadikan pekerjaan sebagai bagian dari ibadah.
Karena sebagian besar jamaah shalat Jum’at merupakan pekerja kantoran diseputar Masjid, Khatib dengan cerdas mengambil tema tersebut dan memberikan contoh-contoh yang relevan dengan kegiatan sehari-hari. Bagaimana bekerja dengan baik sebagai bagian dari ibadah; menjadikan pekerjaan sebagai mekanisme mencari rezeki dan memberikan penghidupan yang layak, baik bagi pribadi maupun bagi keluarga serta berserah diri dan mempercayakan hasil akhir pada Allah setelah kita berusaha sebaik-baiknya.
Biasanya jika mendengarkan khutbah yang kurang menarik saya cenderung mengantuk dan salah-salah bisa tertidur. Kemarin saya bahkan sempat tertawa saat khatib mengambil contoh sehari-hari, misalnya saat kita bekerja tiba-tiba ditelpon isteri, “Pa, itu ada ibu (mertua) datang. Nanti langsung pulang ya… Jangan lupa, kalau ada siapkan uang 2 juta mau ada perlu”.
Hahaha, lucu kan. Khatib mencontohkan hal tersebut sebagai ilustrasi banyaknya para pekerja kantoran yang langsung nggak keruan kerjanya kalau pas tidak punya uang saat menerima telepon seperti itu. Mungkin langsung kesana-kemari pinjam uang pada teman atau kasbon ke kasir. Padahal menurut khatib, jika kita mengganggap kerja sebagai ibadah, sudah selayaknya kita bekerja sebaik-baiknya, tidak perlu grusa-grusu yang malah membuat hasil kerja tidak baik.
Contoh lain misalnya soal haji. Banyak dari kita yang penghasilannya relatif pas-pasan dan menganggap niat berangkat haji merupakan mimpi disiang hari. Padahal jika kita mengaku percaya pada Allah, semestinya hal tersebut tidaklah mustahil. Ia mencontohkan doanya seperti ini : “Ya Allah, sesungguhnya engkau tahu gajiku hanya cukup untuk keluarga. Jika aku ingin berangkat haji, mungkin sampai akhir hayat tidak akan berangkat, namun aku percaya pada kekuasaanmu ya Allah. Permudahlah pencapaian niatku untuk berangkat haji”, begitu kira-kira isi doa yang dicontohkan oleh khatib.
Selepas shalat Jum’at, saya duduk sebentar sambil mengobrol dengan adik saya, Ackoy (Maryadi Arismunandar) sambil memikirkan ucapan khatib tadi. Dipikir-pikir benar juga ya, kadang kita melupakan hakikat hidup. Kita mengejar-ngejar tujuan hidup hari ini dan besok namun melupakan tujuan mulia kita dilahirkan kedunia.
Maksudnya begini, saya pribadi kerap berpikir, “Ah, nanti saja shalat Jum’atnya, nanti nggak keburu sampai di klien tepat waktu”. Jadi menomor duakan kepentingan yang lebih utama dibandingkan kepentingan lainnya. Kalau bicara kenyataan, biasanya kalau memilih pilihan seperti itu hasilnya malah nggak dapat dua-duanya. Shalat Jum’at terlewatkan, sampai di klien bisa presentasi namun tidak goal menjadi project.
Anyway, intinya sih saya senang mendengar khutbah seperti ini, yang relevan dengan kehidupan sehari-hari para audience-nya (jamaahnya). Tidak perlu mencaci maki dengan suara menggelegar, apalagi menakut-nakuti jamaah sambil berbicara tentang segala hal yang tidak down the earth.