Ibu yang Selalu Saya Hormati & Sayangi

Setiap orang-manusia yang normal tentu menghargai keberadaan seorang ibu. Bukan hanya karena beliau yang melahirkan kita namun juga karena seorang ibu memiliki kecintaan bagi anak-anaknya dengan caranya tersendiri.

Jika banyak orang menganggap sosok-sosok tertentu sebagai Kartini modern, bagi saya, ibu sayalah Kartini modern yang menjadi seorang ibu juara nomor 1.

Ilustrasi

Ibu saya hanya bersekolah hingga sampai jenjang kelas 2 SD, namun ia mampu menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi meski dengan penghasilan alakadarnya dari warung makan yang ia bangun dari nol. Ia tidak pernah tahu bumbu masak apapun (karena orang tuanya sendiri seorang petani) namun ia dapat dengan kreatif membuat makanan apapun. Sayur gabus pucung, pecak lele,  rendang telur, semur daging dan berbagai bumbu lainnya yang ia jadikan sebagai barang jualan tanpa pernah mempelajarinya dari orang lain.

Saat masih kecil, saya menganggap ibu seorang yang otoriter, yang meminta anak-anaknya berjualan es mambo, jagung rebus, pisang goreng dan masakan lainnya. Saya tidak memiliki waktu bermain yang leluasa seperti anak-anak lainnya. Dulu saya pernah merasa menyesal mengapa dilahirkan ditengah keluarga yang miskin 🙁

Saya sering harus bangun Shubuh untuk memarut kelapa atau singkong sebelum kemudian berangkat sekolah. Jika saya berangkat sekolah siang, pagi hari saya diminta keliling kampung untuk berjualan. Jika waktunya mepet, saya kebagian tugas memasak untuk warung makan dengan berbagai variasi makanan yang ada.

Saya sering merasa minder, malu dan tidak PD menjadi anak seorang tukang warung makanan. Sering ada anekdot diantara anak-anaknya, “Ayo sambil nonton TV bantu nyiang-in cabe”, atau “Sambil istirahat numbuk bumbu”. Lha gimana bisa istirahat kalau sambil numbuk bumbu??

Ternyata saya tidak tahu, jika saya bangun Shubuh, ibu saya justru bangun dini hari. Pukul 3 pagi ibu saya sudah berangkat ke pasar untuk belanja. Jika saya merasa berat bangun Shubuh dan memarut kelapa atau singkong, ibu saya justru sudah pulang dari pasar jam segitu.

Jika saya merasa menyesal karena tidak memiliki kesempatan bermain yang leluasa seperti anak-anak lainnya, ibu saya malah tidak pernah punya kesempatan bermain karena keluarganya benar-benar petani miskin sehingga pada usia kecil sudah harus membantu orang tuanya disawah milik orang lain.

Saat diwisuda dari kampus, ibu saya mengumpulkan semua uang yang ia miliki untuk menyewa mobil agar bisa menghadiri wisuda saya. Saya tidak menyadarinya sampai pada saat pulang dan kakak saya bercerita soal ini. Saya memang tidak terlalu memperhatikan kesulitan yang sering dialami ibu saya. Dalam banyak hal, saya mungkin lebih memperhatikan hal-hal lain dibandingkan dengan kegundahan ibu saya.

Saya mungkin menjadi bagian dari anak-anak yang berdosa pada orang tuanya. Saya bahkan tidak terlalu memperhatikan saat ibu saya beberapa kali sakit dan menganggapnya sebagai sakit yang ringan.

Pikiran saya menjadi lebih terbuka pada saat ibu saya mengalami sakit keras. Saat bekerja saya ditelepon agar segera pulang. Begitu sampai di rumah suasana sangat menyedihkan karena ibu saya sudah tidak sadarkan diri. Tiba-tiba saya merasa akan sangat kehilangan. Tiba-tiba terlintas dipikiran saya mengenai berbagai kenangan masa lalu antara saya dengan ibu saya. Betapa saya kurang menghargainya, betapa saya kurang menyayangi dan memperhatikannya.

Baru saya sadari bahwa ibu saya sangat kurus dan karena sudah tidak sadarkan diri, saya merasa sudah tidak ada harapan lagi. Saya jadi ingat ucapan seorang tetangga,

“Anak itu baru ingat sama ibunya kalau ibunya sudah tidak ada. Kalau masih ada malah disia-siakan”.

Kami semua sebenarnya tentu sayang pada orang tua kami, kedua ibu bapak. Hanya saja dulu kami merasa tidak biasa bahwa menunjukkan perasaan sayang demikian adanya. Kami memang selalu sayang meski tidak menunjukkannya. Ternyata sayang pada orang tua tidak perlu kita sembunyikan.

Saat itulah saya tumpahkan perasaan saya. Meski ibu saya tidak sadar, saya membisikkan kepadanya mengenai saat-saat ibu saya menemani anaknya yang masih kecil. Saat ibu saya menembang atau menyanyikan lagu-lagu doa kala kami sedang sakit. Saat-saat kami bercengkerama sebelum ibu saya sakit.

Alhamdulillah, tak disangka ibu saya kembali sadar. Saya tidak tahu kuasa Allah seperti apa yang mengabulkan doa kami. Kami semua sangat bergembira dan saat saya melihat saudara saya yang lain, saya melihat  pemikiran yang sama : kami tidak akan lagi membiarkan ibu saya merasa disia-siakan. Kami diberikan kesempatan untuk berbakti pada orang tua kami, ibu dan bapak kami dengan cara kami masing-masing.

Itu sebabnya saya hampir tidak pernah menolak apa yang ibu saya sampaikan. Rasanya sebesar apapun yang saya berikan pada ibu saya tidak akan mampu membalas segala kebaikan yang ia berikan. Tulisan inipun, baru sekali ini saya tuliskan meski sudah bertahun-tahun saya meniatkannya…

Banyak dari kita yang mungkin merasa malu atau sungkan untuk menunjukkan rasa sayang pada ibu kita. Saran saya, jangan menunggu sampai kita menyesali apa-apa yang ingin kita sampaikan pada ibu kita. Jangan menunggu sampai segalanya terlalu terlambat.

You may also like

4 Comments

  1. sedih banget, sampe pingin nangis baca nya, tamparan keras tuh Pa buat saya, mudah2an saya bisa seperti bapak dalam hal kebaikan .. amiin

  2. terima kasih banyak…….. tulisan ini membuat ku meneteskan air mata,,, karena aku belum mampu untuk mengucapkan AKU SAYANG PADAMU IBU,,,,,,,,,,,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.